Daily Archives: 6 Juni 2011

Partisipasi Politik Militer Studi Perbandingan Partisipasi Politik Di Zaman Orde Baru dengan Era Reformasi

Partisipasi Politik Militer
Studi Perbandingan Partisipasi Politik Di Zaman Orde Baru dengan Era Reformasi
Oleh : Ainul Yaqin

A. Latarbelakang
Pemerintahan orde baru di bawah kendali Soeharto menempatkan militer pada tempat spesial baik atas dasar ikatan psikologis ataupun keyakinan atas militer sebagai motor pembangunan dan penilaian atas ketidakmampuan pemerintahan sipil. Salah satu keistimewaan yang diberikan kepada militer adalah menempatkanya pada posisi strategis pemerintahan, legislatif ataupun posisi strategis Golkar. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan sepertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer Pada tingkat bupati dan walikota, 56 persen adalah militer, direktur jenderal 70 persen, dan sekretaris menteri 84 persen diduduki oleh militer. Sementara itu data yang lebih lengkap di ungkapkan oleh Jenkins pada tahun 1977 dan 1980 terkait dengan dominasi militer yang bertugas diluar Hankam.
Pada tahun 1966 dari 27 anggota kabinet yang diangkat 44 persen menteri merupakan anggota ABRI, 6 berasal dari TNI AD dan 6 menteri lainnya berasal dari panglima-panglima angkatan lain. Pada tahun 1968 komposisi anggota ABRI yang duduk dikabinet berubah atau turun menjadi 23 orang. Keterlibatan militer dalam birokrasi lokal selain melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer melalui Muspida dan Muspika yang berfungsi mengendalikan kehidupan masyarakat daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilihan Umum.
Penetrasi dan penguasaan militer atas birokrasi pada masa orde baru dapat dilihat pula dalam penelitiannya MacDougall , tahun 1982 menggambarkan bahwa presentase pejabat militer lebih dominan dibanding sipil dalam jajaran birokrasi pusat tertinggi dengan menganatomi personalia tertinggi seluruh departemen yang ada dari mulai Menteri Koordinasi (Menko) sampai dengan Direktur Jenderal (Dirjen), MacDougall juga menemukan fakta bahwa pada departemen-departemen strategis jumlah militer sangat dominan dibandingkan sipil. Penelitian MacDougall 4 tahun kemudian (1986), setelah kabinet berganti ditahun 1983, memperlihatkan tidak terjadi perubahan signifikan perimbangan militer-sipil didalam birokrasi pusat tertinggi. Militer mengisi 64 persen jabatan pembantu dekat Presiden, 38 persen Menteri, 67 persen Sekretaris Jenderal, 67 persen Inspektur Jenderal, dan 20 persen Direktur Jenderal.
ABRI juga berada di lembaga legislatif sampai dengan tahun 2004 melalui mekanisme pengangkatan. Para perwira membentuk fraksi ABRI di MPR, DPR, DPRD Tk I dan DPRD Tk II, menjalankan fungsi penting seperti menempatkan aspek keamanan dan pertahanan dalam setiap perdebatan UU, memperjuangkan kebijakan sosial-politik yang berasal dari Panglima ABRI. Seringkali kantor anggota Fraksi ABRI di sebuah wilayah konstituensi menjadi pusat penyelesaian sejumlah persoalan lokal yang tidak bisa dilakukan melalui badan legislatif setempat. Keberadaan fraksi ABRI dimulai pada dekade 1965-1969 atau zaman DPR-GR sebanyak 43 orang, dekade 1970-1979 ABRI memiliki wakil diDPR/MPR sebanyak 75 orang. Dekade 1980-1989 jumlahnya meningkat menjadi 100 orang.
Dekade 1990-1998 jumlahnya turun kembali menjadi 75 orang. Pada 1 februari 1999 disahkannya UU No.4 tahun 1999 mengurangi perwakilan militer dari 75 kursi menjadi 35 kursi baik di DPR ataupun MPR serta membatasi keberadaan ABRI 10 persen di DPRD I dan II. Melalui sidang MPR Oktober 1999 Keberadaan anggota F-ABRI dihapuskan di DPR dan hanya ada di MPR sebanyak 38 wakil sampai dengan tahun 2004. Berakhirnya keberadaan ABRI di MPR dengan disahkannya UU No.22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Sejak pemilu 1971, ABRI juga memiliki perwakilan ditingkat DPRD I atau II dengan jumlah yang variatif.
Dominasi militer juga terjadi pada struktur Golkar, kondisi ini bisa dipahami dikarenakan Golkar adalah partai bentukan militer yang dibuat untuk ikut dalam Pemilu untuk mendapatkan legitimasi rakyat atas pemerintahan orde baru. Hubungan Golkar-militer cukup dimanis, dimulai dari dominasi militer didalam tubuh Sekber Golkar. Ketua Sekber Golkar di Dati I pada umumnya dijabat purnawirawan ABRI dan banyak pula yang masih aktif. Ketua Sekber Dati II hampir semuanya dijabat anggota ABRI aktif. Pada Munas 1 Golkar di surabaya, 4-9 September 1973, ABRI menempatkan perwira aktif kedalam struktur DPP dan hampir seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Pada Munas II Golkar, militer memperkuat dominasinya dengan dibentuknya Dewan Pimpinan Harian yang diketuai oleh Jenderal M. Panggabean. Pada munas II ini dipilihnysa Soeharto sebagai ketua Dewan Pembina yang mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pengurus DPP . Pada Munas III komposisi DPP Golkar untuk pertama kalinya didominasi kalangan sipil, hampir tidak ada kalangan militer aktif yang duduk dalam jajaran kepengurusan. Kondisi ini menimbulkan multi tafsir ada yang melihat pada kenyataannya, para pemimpin muda Golkar yang berasal dari kalangan sipil hanya dimanfaatkan oleh para tokoh tua untuk melaksanakan keputusan-keputusannya.
Ada yang melihat bahwa hilangnya perwira aktif dalam jajaran kepengurusan Golkar merupakan upaya ABRI untuk mulai ”menyapih” Golkar. Pada Pemilu 1992 militer kembali dipimpin tokoh militer (Wahono), akan tetapi pada pemilu ini banyak purnawirawan ABRI yang menyebrang ke PDI. Dominasi militer mulai memudar pada Munaslub Oktober 1998 dimana Akbar Tandjung terpilih sebagai ketua umum mengalahkan Eddy Sudrajat. Hubungan ABRI dengan Golkar terputus dengan dikeluarkannya 17 butir langkah-langkah perubahan dasar ABRI pada tahun 1999. pada poin ke -11 ditegaskan bahwa dilakukan pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada.
Ada dua hal yang menarik dalam dominasi perpolitikan di Indonesia pada masa orde baru. Pertama, adanya tren penurunan dominasi militer tiap repelita. Anggota ABRI yang menduduki jabatan Gubernur misalnya; pada Pelita I sebesar 73 persen, pada Pelita II sebesar 76,9 persen, pada Pelita III sebesar 59,2 persen, pada pelita IV sebesar 51,8 persen, pada pelita V hanya tinggal 44,4 persen. Tren yang sama terjadi pada komposisi anggota Kebinet Pembangunan. jika dalam tiga Pelita pertama, rata-rata 31,2 persen anggota kabinet adalah ABRI aktif, maka dalam tiga Pelita terakhir rata-rata hanya 9,6 persen anggota kabinetnya yang berasal dari ABRI aktif. Tren ini dapat ditemukan pula dalam komposisi sipil-militer pejabat asisten menteri, duta besar, bupati dan jabatan-jabatan ekesekutif lainnya.
Kecendurungan ini memperlihatkan 2 (dua) hal; pertama, Eep Saefullah Fatah melihatnya sebagai sebuah skenario dari Soeharto dan ABRI yang menjelmakan diri menjadi kekuatan prodemokrasi dan penghela perubahan politik dengan mengurangi porsi militer dalam kedudukan politik. ABRI yang semakin dewasa terlihat pula pada sikap menjaga jarak dari semua partai pada pemilu 1992. Keterlibatan ABRI dalam kasus pelanggaran pemilu hanya 4,6 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan birokrasi pemerintahan 29 persen dan badan-badan penyelenggara pemilu 60,6 persen. Pendapat ini bisa dipahami dengan melihat pandangan Eric A Nordlinger terkait tingkat campur tangan militer dalam sebuah negara. Keterlibatan militer dalam banyak negara kondisinya mayoritas hanya sebatas ” Moderator Pretorian ” atau ” Pengawal Pretorian ” jarang yang menjadi ” Penguasa Pretorian” . Pada jenis ” Moderator Pretorian”, militer menggunakan hak veto atas keputusan pemerintahan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. ”Pengawal Pretorian”, militer menggulingkan sebuah pemerintahan sipil, umumnya mereka sendiri yang akan memegang tampuk pemerintahan untuk periode tertentu. Pada posisi ini militer mempertahakan status quo sebagai keadaan terwujud sebelum kegagalan sipil, militer juga akan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan menangkal inflasi yang membumbung, anggaran belanja yang berlebihan, neraca pembayaran yang defisit yang terjadi pada pemerintahan sipil.
Militer bersifat otoriter akan tetapi tidak menghapus partai politik, pergerakan kelompok, surat kabar, dan serikat pekerja secara keseluruhan, akan tetapi membolehkan sebagian dengan batasan atau kontrol yang ketat. Walaupun ciri-ciri ”Pengawal Pretorian” terdapat pada pemerintahan militer Orde Baru, akan tetapi masih berat menyakini militer Indonesia mempunyai rencana untuk menarik diri dari dominasi politik indonesia. Sebab, semakin pudarnya peran politik militer pada orde reformasi lebih dikarenakan desakan masyarakat untuk menghapus konsep dwi fungsi ABRI, ketimbang insiatif militer atas dasar kerelaan.

B. Pokok Permasalahan
Thailand dan Indonesia mengambil langkah yang berbeda untuk mengakhiri dominasi militer atas dunia politik mereka. Di Thailand, peran politis militer mengalami penurunan secara gradual sejak tahun 1973, sedangka di Indonesia pengurangan politik militer terjadi akibat jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Kemungkinan yang kedua, tren penurunan dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia, lebih diakibatkankan adanya konflik yang terjadi diantara Soeharto dan Benny Moerdani serta konflik internal Angkatan Darat. Ketika Soeharto sudah sulit untuk mengontrol militer dan lambat laun tidak mendapatkan dukungan penuh. Soeharto mencoba melakukan perombahan struktur militer dengan dekat dengan angkatan 1972 (mempersiapkan Wiranto sebagai putra mahkota dalam struktur tertinggi militer) dan mengalihkan dukungan dari militer menjadi kalangan Islam dengan pendirian ICMI.
Dominasi militer pada masa orde baru tidak bermetamorfosis menjadi rezim militer. Pemerintahan orde baru lebih tepat dikategorikan sebagai pemerintahan birokrasi otoriter (O’Donnell) dengan melibatkan tiga aktor yakni militer, birokrasi dan teknokrasi. Keterlibatan birokrasi dan teknokrat menjadi wajar, dalam konteks dibutuhkannya keahlian administrasi dan konsep-konsep pembangunan serta militer membutuhkan dukungan politik yang besar. Pada Pemilu 1982, pengerahan jajaran birokrasi, baik ditingkat desa maupun perkotaan, mampu menyumbangkan lebih dari 20juta suara terhadap Golkar. Soeharto tidak memilih sistim pemerintahan yang identik dilakukan oleh rezim militer dengan memberlakukan sistim partai tunggal. Walaupun ABRI merupakan kekuatan anti partai, akan tetapi pasca naiknya Soeharto sebagai Presiden berikutnya, militer tidak melakukan perubahan radikal pembubaran dan pelarangan partai politik. Pada pemilu 1971 terdapat 9 partai dan 1 golangan karya, penyederhanaan partai baru dilaksanakan pada tahun 1973. Soeharto juga menggunakan pemilihan umum untuk melakukan penguatan sistim dan kehidupan politik.
Berdasarkan latar belakang di atas maka tulisan ini mengangkat pokok permasalahan: Bagaimana perbandingan partisipasi politik militer di zaman orde baru dan era reformasi?
C. Kerangka teori
1. Tipe Militer
Pretorian dirumuskan Amos Perlmutter sebagai situasi dimana militer dalam suatu masyarakat tertentu melaksanakan kekuasaan politik yang otonom dalam masyarakat tersebut berkat penggunaan kekuatan aktual atau ancaman penggunaan kekuataan. Pretorian terbagi dalam dua jenis yaitu pretorian historis dan pretorian modern.
Pretorian historis dimulai dari tentara ibukota Romawi yang selalu mendesakkan calon pemimpin negara untuk disetujui senat. Pretorianisme jenis ini kemudian berkembang subur di masyarakat feodal yang berciri patrimonial. Di dalam masyarakat ini tentara menjadi alat utama pendukung kekuasaan raja atau bangsawan. Hubungan antara tentara dengan penguasa didasarkan pada orientasi tradisi. Dalam pretorianisme modern, tentara justru menentang penguasa dan menawarkan jenis kekuasaan baru. Tentara dalam pretorianisme modern cenderung campur tangan dalam pemerintahan dan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif.
Pretorianisme modern terbagi atas 3 bentuk yaitu otokrasi militer, oligarki militer dan pretorianisme otoriter. Dalam otokrasi militer, pimpinan pemerintahan dipegang oleh seorang perwira militer yang sekaligus menjadi penguasa tertinggi. Dalam rejim ini, pemilu ditiadakan. Sedangkan dalam oligarki militer, pemerintahan dijalankan oleh beberapa orang, dimana eksekutif terdiri dari para perwira militer sedangkan eksekutif utama diduduki oleh pensiunan perwira militer atau orang sipil yang didukung militer secara penuh. Rejim ini hanya bisa bertahan selama mendapat dukungan dari militer dan selalu melakukan mobilisasi dukungan. Rejim ini juga hanya kadang-kadang saja mengadakan pemilu.
Ada pun dalam pretorianisme otoriter, pemerintahannya merupakan fusi militer dan sipil dengan kontrol yang sangat sedikit atau tidak ekstrim. Kombinasi dari ketiga bentuk pretorianisme modern itu bisa berwujud rejim militer otoriter, dimana tentara, birokrat, manajer dan tehnokrat memainkan peranan yang penting. Birokrasi terdiri dari militer dan sipil sedangkan kepala pemerintahan bisa dari sipil murni. Dukungan rejim ini adalah lembaga militer. Rejim ini juga mengusahakan dukungan politik dari luar negeri. Pemilu diadakan dengan pembatasan-pembatasan dan masih bisa menolerir adanya struktur politik nasional yang tidak mendukung rejim.
2. Kontrol Sipil atas Militer
Posisi militer yang sebenarnya adalah berada di bawah kontrol sipil secara demokratis. Dengan kalimat lain, hubungan sipil-militer (HSM) yang demokratis terjadi bila militer dikendalikan oleh sebuah kontrol sipil secara demokratis. Secara teoretis, kontrol sipil adalah sederhana: Semua keputusan pemerintah, termasuk keamanan nasional, tidak ditentukan oleh militer sendiri, melainkan diputuskan oleh pejabat sipil yang terpilih secara demokratis. Pada prinsipnya, kontrol sipil adalah absolut dan mencakup keseluruhan. Tidak ada keputusan atau tanggung jawab yang diberikan kepada militer kecuali secara ekspresif atau implisit didelegasikan kepadanya oleh pemimpin sipil. Bahkan keputusan-keputusan perintah –pemilihan strategi, operasi apa yang digunakan dan kapan, taktik apa yang dipakai, manajemen internal militer– berasal dari kekuasaan sipil. Mereka didelegasikan untuk menyeragamkan personel hanya untuk alasan-alasan kenyamanan, tradisi, keefektifan, atau pengalaman militer dan keahlian. Kaum sipil membuat semua peraturan, dan mereka dapat mengubahnya kapanpun.
Ada tiga dimensi penting untuk menempatkan kontrol sipil dan meletakkan militer pada posisi yang sebenarnya. Pertama, ancaman dan misi militer dalam konteks pertahanan-keamanan. Secara konvensional fungsi utama militer adalah memelihara pertahanan dan keamanan nasional. Misi dan doktrin keamanan nasional (national security) sangat menentukan posisi militer. Pijakan utama formulasi doktrin pertahanan dan keamanan sebagai perangkat lunak adalah “ancaman”, yang secara umum bisa dirumuskan menjadi dua kategori, yaitu sifat ancaman dan asal ancaman. Dua kategori ancaman ini melahirkan 4 tipologi seperti tergambar dalam bagan 1.

Bagan 1
Tipologi Ancaman Hankam
Tipologi Ancaman Militer Nonmiliter
Eksternal Tipe 1 Tipe 3
Internal Tipe 2 Tipe 4

Sifat ancaman bisa dirumuskan menjadi ancaman militer dan nonmiliter, sedangkan asal ancaman dibagi menjadi ancaman internal dan eksternal. Tipe 1 adalah ancaman militer-eksternal yang mencakup agresi, invasi dan infiltrasi kekuatan militer bersenjata dari luar. Tipe 2 adalah militer-internal dalam bentuk pemberontakan separatis bersenjata yang menggunakan kekuatan senjata secara terorganisir dan terlatih (well armed). Tipe 3 adalah ancaman nonmiliter-eksternal yang mencakup emigran gelap, penyulundupan narkoba, teror, bajak laut, penangkapan ikan secara ilegal, dan perusakan lingkungan. Tipe 4 adalah nonmiliter-internal seperti bencana alam, wabah penyakit, konflik sipil, kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan masalah lain yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan militer tetapi mempunyai kandungan perlindungan terhadap rakyat.
Tipologi itu secara normatif menuntut secara tegas perbedaan pertahanan dan keamanan, dan sekaligus akan sangat mempengaruhi dimana peran militer. Secara konvensional, ancaman pertahanan adalah tipe 1 dan tipe 2, yang kemudian menjadi wilayah yang dibebankan kepada tentara. Sedangkan keamanan berkaitan dengan tipe 3 dan tipe 4 yang dibebankan kepada polisi dan elemen-elemen sipil lainnya.
Kedua, hak istimewa dan kontestasi militer dalam politik, seperti tergambar dalam bagan 2. Kontestasi militer berarti keterlibatan militer dalam urusan politik, terutama menduduki jabatan-jabatan politik (kabinet, parlemen, eksekutif, dll). Sedangkan hak istimewa adalah otonomi militer dalam menggunakan kekuatan militernya (personel, senjata, anggaran, dll). Militer yang punya hak istimewa bila dia bisa mengambil keputusan secara otonom menggunakan kekuatan militernya untuk menghadapi ancaman.
Hubungan sipil-militer yang ideal, atau posisi yang sebenarnya militer, terletak pada kuadran I (kontrol sipil). Kontrol sipil ditandai dengan hak istimewa dan kontestasi militer sama-sama rendah. Yang paling parah adalah kondisi kuadran IV, dimana kontestasi dan hak istimewa militer sama-sama tinggi, yang membuat demokrasi hancur. Kondisi Orde Baru menggambarkan kuadran IV ini.
Bagan 2
Kontestasi dan hak istimewa militer
Hak istimewa
Rendah Tinggi

Kontestasi Rendah Kontrol sipil Akomodasi sipil yang tidak seimbang
tinggi Posisi pemimpin militer yang tidak bisa dipertahankan Demokrasi hancur

Sumber: Alfred Stepan (1986) dan Sutoro Eko (2002).
Kuadaran II, akomodasi sipil yang tidak seimbang (hak istimewa tinggi tetapi kontestasi rendah), merupakan kondisi yang tidak ideal. Dari perspektif teori demokrasi, sebuah masyarakat bernegara dalam posisi seperti ini punya kerentanan serius, karena kekuatan struktural militer laten merasa sah dalam penguasaan mereka atas hak istimewa di sektor pertahanan-keamanan. Salah satu kerentanan adalah bahwa proses kebijakan mungkin sangat konfliktual, dan militer, yang didukung oleh sekutu-sekutunya yang kuat, dapat menggunakan seluruh hak istimewanya untuk memaksakan serangkaian hasil kebijakan yang terpaksa diterima oleh para pemimpin sipil guna menghindari munculnya kudeta. Bentuk kerentanan lainnya dalam posisi “akomodasi sipil yang tidak serimbang” adalah bahwa suatu masyarakat-negara dapat ditransformasikan ke dalam sebuah “negara garnisun” di bawah pemimpin sipil nondemokratis akibat dari eksploitasi pihak eksekutif atas hak istimewa militer. Kelemahan lain dalam posisi ini adalah rendahnya tingkat otonomi rezim ketimbang militer, yang terimplikasikan dalam tingginya tingkat hak istimewa militer, yang dapat mengurangi legitimasi demokrasi baru di mata masyarakat.
Kuadran III, posisi pemimpin militer yang tidak bisa dipertahankan, ditandai dengan hak istimewa militer rendah tetapi kontestasi militer dalam politik tinggi. Artinya militer tidak lagi mempunyai hak istimewa menggunakan kekuatan senjatanya, tetapi militer secara terlibat dalam politik. Tipe ini membuat militer tidak profesional dan rapuh sebagai alat pertahanan negara, karena para pejabatnya lebih suka masuk ke arena politik dan bisnis ketimbang memikirkan pertahanan negara.
Ketiga, orientasi militer, yang dibagi menjadi orientasi profesional dan orientasi praetorian. Militer profesional adalah militer yang memegang teguh fungsi pertahanan-kemanan, mempunyai keahlian dalam menggunakan senjata, setia pada negara bukan pada pemerintah atau komandan, punya jiwa corsa yang kuat, dan punya etika militer yang kuat. Etika ini mementingkan ketertiban, hirarkhi dan pembagian tugas serta pengakuan atas nation-state sebagai bentuk tertinggi organisasi politik. Negara yang kuat jika ada kekuatan militer yang kuat, tetapi kekuatan militer ini adalah perangkat negara. Dalam tubuh militer tidak perlu ada demokrasi, misalnya dalam bentuk perdebatan terbuka antara komandan dan parjurit, sebab demokrasi bisa menghancurkan profesionalisme militer. Kita tidak boleh menganggap dan menggunakan demokrasi seperti “balsem” untuk mengobati segala macam penyakit. Kita tidak boleh membawa demokrasi di sembarang tempat, termasuk dalam militer. Etika dalam militer bukanlah demokrasi, melainkan sentralisasi, otoritarianisme dan hirarkhi. Sedangkan demokrasi adalah etika hubungan antara pemerintah dan rakyat atau negara dan masyarakat.
Militer pretorian adalah militer yang lebih suka berpolitik atau menjalankan aktivitas ekonomi, ketimbang mengurusi pertahanan. Militer aktif yang jadi menteri, parlemen, kepala daerah, atau menjalankan bisnis adalah militer praetorian, alias militer yang tidak punya etika profesional. Apalagi tentara yang jadi pelaku atau beking bisnis gelap yang sejak dulu marak di Indonesia. Sebagai contoh, seorang kolonel aktif yang jadi bupati akan mempunyai tanggungjawab ganda: yang satu ke publik dan yang lain ke jenderal yang lebih tinggi. Kalau mau memecat bupati bermasalah, seperti pengalaman Sri Roso Sudarmo di Bantul, harus memperoleh izin dari panglima TNI. Seorang tentara tetap boleh menjadi pejabat politik, tetapi ia harus lepas identitas militernya sampai di titik nol atau sampai tidak lagi berhubungan dengan komando dan organisasi militer.

D. Perbandingan Partisipasi Politik Militer di Zaman Orde Baru dengan Era Reformasi
Dimulai dari bagaimana militer masuk ke politik, lahir dwi fungsi, terus peran politik militer yang meluas dan kebijakan-kebijakan, jabatan-jabatan strategis banyak di duduki oleh militer, dan pendebatan konflik memakai cara-cara militer. Tetapi seiring adanya refomasi terjadi reformasi dan demokratisasi termasuk di dalamnya menuntut dwi fungsi ABRI dihapus dan militer di reformasi dan kemudian menjalankan fungsi-fungsi militer hanya dalam konteks pertahanan dan keamanan.
1. Militer di Zaman Orde Baru
a. Politik Soeharto terhadap Militer
Sudah menjadi pengetahuan umum, militer di Indonesia yang menjelma dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-kini Tentara Nasional Indonesia (TNI) plus Polisi Republik Indonesia (Polri)-adalah satu komponen negara yang memiliki nilai politis dan strategis tersendiri. Meskipun senantiasa menampilkan citra solid dan independen, namun bukan rahasia lagi dalam tubuh lembaga militer tersebut hubungan di antara berbagai kelompok kepentingan di dalamnya tidak selalu berjalan harmonis. Fenomena perpecahan kelompok di dalam tubuh TNI dan Polri tidak hanya terjadi sekarang saja. Sebelumnya pun intrik internal senantiasa terjadi. Pergulatan internal ABRI terjadi pula pada masa Soeharto.
Sekelumit tentang bukunya, Jenkins melakukan penelitian resmi terhadap ABRI dan hubungannya dengan Soeharto selama 14 bulan, yaitu antara tahun 1981-1982; tetapi jauh sebelum itu ia sudah memiliki pengalaman pribadi dengan birokrasi Indonesia ketika bertugas menjadi koresponden Far Eastern Economic Review pada tahun 1976-1980. Dalam bukunya Jenkins menyimpulkan, sampai dengan tahun 1980 secara garis besar ABRI sedikitnya terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama, yaitu para pejabat teras ABRI yang memiliki kedekatan khusus dengan presiden dan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam pemerintahan. Dalam pengejawantahannya, kelompok ini mengintervensi kehidupan masyarakat dengan menduduki posisi penting dalam tatanan sosial-politik-ekonomi masyarakat dalam bentuk kekaryaan, seperti menjadi menteri, duta besar, anggota dewan perwakilan rakyat, komisaris atau direktur badan usaha milik negara (BUMN), bankir, rektor universitas, gubernur, bahkan sampai tingkat yang lebih rendah lagi menjadi bupati. Kelompok ini juga mendukung hubungan mesra ABRI dengan Golongan Karya (Golkar).
Kelompok kedua adalah para pejabat dan perwira yang menginginkan agar ABRI dapat berdiri di atas semua golongan, tidak berpihak, dan menjadi pengayom bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak menjadi pengecualian, ABRI tidak ditolelir menitikberatkan dukungannya terhadap Golkar, partai politik terbesar di Indonesia yang menjadi tumpuan pijakan kekuasaan Soeharto.
Perbedaan pendapat di antara para anggota ABRI ini berlangsung cukup lama dan semakin meruncing, ketika Jenderal M. Yusuf menjabat sebagai Panglima ABRI. Sejak akhir tahun 1978 hingga awal tahun 1980, Jusuf mengkampanyekan manunggalnya ABRI dengan rakyat. Artinya, ABRI menjadi bagian dari rakyat dan tidak memihak satu golongan tertentu saja. Situasi ini sebenarnya berbahaya buat militer dan juga Soeharto demi melanggengkan kekuasaannya yang banyak ditopang oleh ABRI. Kemudian Soeharto dalam pidatonya di Pekanbaru, Riau, Secara implisit Soeharto telah mengultimatum ABRI agar tetap mendukung Golkar.
b. Dampak dominasi militer dalam peran politik
Peniadaan peran sosial-politik militer setidaknya didasari oleh dua pertimbangan, pertama , ada kekhawatiran bahwa peran sosial-politik ABRI akan mengurangi profesionalisme ABRI sehingga memperlemah daya tempur mereka dalam menghapi ancaman keamanan konvensional. Kedua, peran sosial-politik ABRI dinilai menghambat proses demokratisasi. Organisasi militer yang sangat hierarkis dan disiplin yang sangat ketat akan mempersulit partisipasi massa yang menuntut adanya kebebasan menyatakan pendapat dan kemampuan bertindak secara otonom.
Dampak dominasi militer pada masa orde baru sebagai berikut :
1). Munculnya rezim otoriter sebagai penghambat demokratisasi
Banyak kalangan melihat intervensi militer kedalam wilayah politik merupakan bagian faktor terbesar penyebab pelbagai persoalan bangsa dan faktor pendorong terciptanya zaman otoriterism. Posisi militer pada masa orde baru mempunyai 4 (empat) dampak . Pertama, peran sosial politik TNI yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Akibat keterlibatan “oknum” TNI/ABRI, banyak kasus hukum yang masih misterius hingga sekarang, seperti pada kasus tewasnya Marsinah dan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini. Bahwa banyak unit-unit bisnis yang melibatkan militer atau “oknum” militer yang biasanya dibungkus dengan kata “kerja sama” dengan sipil yang berujung pada kebangkrutan di pihak sipil.
Sementara itu, Alfred C. Stepan meniliti bahwa hak-hak istimewa kelembagaan militer (military previlege ) yang tinggi cenderung menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik antara sipil-militer, daripada terciptanya akomodasi sipil. Begitu juga pengembangan dan penyebaran teknologi militer yang tinggi juga menyebabkan terbukanya kemungkinan penyalahgunaan kekuatan militer untuk menghambat proses demokratisasi pemerintahan baru yang sedang berkembang . Eep Saefullah Fatah menyatakan bahwa demokrasi dan militer adalah sebuah oxymoron : dua buah kata yang tidak mungkin dipadukan. Oleh karenanya, keterlibatan militer dalam politik adalah sumber dari segala sumber penyakit sistem politik dan demokratisasi hanya dapat dijalankan oleh kekuatan sipil dengan terlebih dahulu membersihkan sistem politik dari intervensi militer. Sedangkan menurut Ikrar Nusa Bhakti dkk, Keterlibatan militer dalam politik akan merusak kompetisi politik, mendistorsi kebijakan politik, serta menciptakan berbagai kerusuhan dan keresahan sosial dalam rangka bargaining politik keamanan. Bahkan Samuel Hutington menganalisa bahwa intervensi militer dalam politik adalah menyalahi kode etik keprofesionalannya, bahkan dikatakan sebagai tanda adanya political decay (pembusukan politik) .
Mengutip studi Robert K. Clark, di delapan negara dunia ketiga, disimpulkan bahwa gejala naiknya kekuasaaan militer memang merupakan gejala umum dunia ketiga sebagaimana gejala maraknya otoriterisme. Sipilisasi tidak selalu mendatangkan demokratisasi, tapi militerisasi justru hampir selalu mendatangkaan otoritarisasi. Nordlinger menegaskan, jika sebuah pemerintahan dikuasai oleh militer maka hampir pasti akan melahirkan otoritarianisme.
Pada masa pemerintahan orde baru, dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia dimana hampir posisi strategis pemerintahan dikuasi oleh militer membawa dampak bagi kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berpendapat. Militer melakukan kontrol terhadap media massa ataupun aktivitas politik yang dilakukan partai politik maupun masyarakat umum. Kontrol militer yang berlebihan terhadap aktivitas masyarakat menyebabkan terjadinya kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Setidaknya ada 6 kasus kemanusiaan yang terjadi sebagai implikasi pendekatan kekerasan. Dimulai dari kasus malari (1971), Tanjung Priuk (1984), Talang Sari Lampung (1989), DOM Aceh (1989-1998), Kudatuli 27 Juli 1996, rentetan kekerasan ditutup dengan peristiwa penculikan aktivis 1998 dan tragedi trisakti I. Menurut data yang dimiliki KontraS (komisi orang hilang dan korban tindak kekerasan) kejadian tersebut menelan korban tidak kurang dari 9085 orang. Menurut Fajrul Falaakh, suramnya penyelesaian masalah perburuhan dan pertanahan, juga operasi militer di Timor-Timur, Aceh, Lampung, Tanjung Priuk, merupakan bukti-bukti yang selalu diungkap sebagai keburukan peran non-militer ABRI. Dominasi militer pada kepemimpinan pemerintahan daerah berimplikasi pula, tidak ada netralitas birokrasi dan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan sejak 1971-1997. Investasi militer dalam netralitas birokrasi dan pemilu hanya terbatas pada fungsi kontrol atau memastikan birokrasi solid untuk mendukung Golkar. Keberadaan militer didalam DPR/MPR dan Golkar menghilangkan fungsi check dan balance dalam penyelenggaraan Negara.
2). Mempengaruhi profesionalisme militer
Huntington menegaskan :
Politik menangani tujuan-tujuan kebijakan negara, kemampuan dalam bidang ini terdiri dari pengetahuan yang luas mengenai elemen-elemen dan kepentingan yang mempengaruhi sebuah keputusan dan dalam menjalankan otoritas yang sah untuk membuat keputusan. Politik berada di luar lingkup kemampuan militer, dan partisipasi perwira militer di dalam politik merusak profesionalisme mereka, membatasi kemampuan profesional mereka, memisah-misahkan profesi mereka sendiri, dan menggantikan nilai-nilai profesional dengan nilai-nilai asing. Perwira militer harus netral secara politis. ” komandan militer jangan pernah mengizinkan pandangan militer yang dimilikinya terbungkus oleh asas manfaat politik ”21 .
c. Faktor penyebab dominannya peran politik yang dimiliki militer
Secara umum, ada dua kelompok utama yang memandang campur tangan militer dalam politik. Perlmutter (1980), Huntington (1959), dan Welch (1970) melihat faktor eksternal militer sebagai penyebab munculnya intervensi militer keranah sosial-politik, sedangkan Finer ( 1988 ) dan Nordlinger (1994) melihat faktor internal militer (kepentingan militer) sebagai penyebab terjadinya intervensi militer kedomain sipil22.
Dorongan keterlibatan militer Indonesia dalam peran diluar peran aslinya secara sederhana dapat dilihat ditabel berikut :
Faktor Penjelasan
Internal ABRI  Perwira – perwira Intervensionis terutama didorong oleh motivasi untuk membela atau memajukan kepentingan militer yang berlawanan dengan norma konstitusional
 Intervensi militer didorong oleh kepentingan kelas untuk membela nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah yang darinya mereka berasal.
 Kemahiran profesional di kalangan militer menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional dibandingkan dengan kepemimpinan sipil.
 Intervensi militer dalam politik sebagai sebab ambisi pribadi perwira-perwira yang haus wibawa dan kuasa
Eksternal ABRI  Intervensi militer dalam politik akibat sebagai akibat dari struktur politik masyarakat yang masih rendah dan rentan.
 Kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah (untuk kasus Indonesia terjadi pada masa Demokrasi Parlementer pada tahun 1965 ) atau kelompok sipil dipandang tidak mampu memberikan jaminan tertib politik dan stabilitas politik.
 Kelompok sipil dianggap tidak mampu dalam melakukan modernisasi ekonomi.
 Terjadinya disintegrasi nasional.
Sumber: DPW-LIPI
Menurut Yahya A. Muhaimin ada faktor eksternal dan internal yang mendorong militer secara aktif memasuki arena politik dan memainkan peranan politik. Faktor eksternal diantaranya : pertama, adanya ketidak stabilan sistem politik. Keadaan seperti ini terbuka kesempatan dan peluang yang besar untuk menggunakan kekerasan di dalam kehidupan politik. Kedua, kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfer kehidupan politik, bahkan untuk mendapatkan peranan-peranan politik yang menentukan. Ketiga, political perspektif kaum militer atas kerja elite sipil. Dalam suatu keadaan di mana kepemimpinan politik sipil dianggap militer tidak beres, korup, lemah dll, maka dorongan intervensi militer semakin besar.
Sedangkan faktof internal adalah: pertama, kepentingan golongan militer. Kepentingan ini berupa; kepentingan militer sebagai satu institusi, dapat juga sebagi satu kepentingan kelas, dapat kepentingan daerah dan dapat juga kepentingan pribadi. Kedua, momentum psikologis militer dalam menggerakkan diri memasuki arena politik. Ada 2 elemen dalam ini. Pertama, militer menyadari dirinya memiliki kekuatan tidak terkalahkan dalam masyarakat. Kedua, perasaan dendam dan kecewa kalangan militer terhadap sipil karena rasa harga-dirinya yang tinggi.
Faktor penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia pada pemerintahan orde baru adalah:
1). Momentum pemberontakan PKI dan balas jasa kepada militer
Faktor ini sebenarnya masuk dalam persepsi militer atas kegagalan pemerintahan sipil, penulis sengaja memisahkannya untuk memberikan titik tekan yang lebih.
Harold Crouch menyatakan:
Indonesia memasuki babakan politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang menandai runtuhnya keseimbangan 3 aktor politik utama dengan kehancuran PKI dan semakin merosotnya kewibawaan politik Presiden Soekarno. Keberhasilan Angkatan Darat menumpas kekuatan komunis telah menimbulkan efek psikologis luar biasa pada masyarakat anti komunis, akan citranya sebagai penyelamat negara dari rongongan komunis. Setelah kewibawaan politik Presiden Soekarno merosot secara drastis pada masa-masa pasca kudeta. Sentral kekuatan politik lambat-laun bergeser dari istana kepresidenan ke Markas Kostrad, dimana Mayjen Soeharto selaku pemegang kendali efektif atas tentara bermarkas pada waktu itu.
Peristiwa PKI hanyalah momentum untuk menguatkan posisi militer dalam peran politik yang telah dimainkan sebelumnya atau meminjam istilah Eric A Nordlinger, naiknya Soeharto pasca pemberontakan PKI merupakan peralihan status ABRI dari “moderator praetorian” menjadi “penguasa pretorian”.
2). Persepsi atas kegagalan pemerintahan sipil
Dalam Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, sebagaimana dikutip Bilveer Singh, disebutkan faktor-faktor yang mendasari konsep dwifungsi adalah:
a) Kegagalan para politisi sipil memaksa ABRI untuk memainkan peren sosial politik lebih besar.
b) Peran ABRI tetap menentukan karena merupakan kekuatan satu-satunya yang dapat menjamin bahwa pancasila tetap menjadi idiologi nasional.
c) ABRI dipandang sebagai penyelamat nasional satu-satunya mengingat banyaknya krisis negara yang telah dialami 27 .
Persepsi militer adalah kegagalan pemerintahan sipil (orde lama) dikarenakan tiga faktor yakni instabilitas politik pasca pemilu 1955, terjadinya pelbagai pemberontakan di daerah serta terjadinya kriris ekonomi yang melanda Indonesia (mengalami inflasi 1000 persen lebih). Dengan persepsi kegagalan pemerintahan orde lama, militer Indonesia ingin menempatkan dirinya sebagai motor pembangunan sebagaimana penilaian lembaga militer di Amerika Latin yang berhasil meninggikan investasi asing, menyebabkan sebutan militer sebagai motor pembangunan, argumentasi didasarkan beberapa hal :
a) Militer dilihat sebagai bentengan pertahanan melawan ketidakstabilan dan persebaran komunisme di negara-negara berkembang.
b) Militer merupakan institusi yang terorganisir paling baik dalam negara (profesionalisme)
c) Militer dianggap sebagai institusi berorientasi rasional dan teknologi
d) Militer pun dianggap memiliki orientasi pembangunan bertata nilai modern.
e) Militer berperan sebagai pemimpin dalam proses politik sebuah bangsa yang mampu menghindari berbagai ekses partisipasi yang menjurus pada instabilitas.
f) Anggota militer dipandang berpendidikan, dengan pengetahuan teknis, kepakaran, dan pengetahuan organisatoris.
g) Militer dipandang sebagai institusi paling efisien dalam memberikan solusi permasalahan, karena pada keadaan darurat bisa menggunakan kekerasan
Terakhir, fungsi mililter yang” mempersatukan” dalam mengatasi konflik etnis, dipuji sebagai personifikasi bangsa.
3). Menjaga stabilitas sebagai faktor utama pembangunan ekonomi
Ketika pemerintahan orde baru menegaskan untuk fokus pada masalah pembangunan ekonomi, maka prasyarat utamanya tentunya masalah stabilitas politik. Lucyan W Pye menegaskan: polical develompent as stabillity and orderly change. Bagaimana korelasi atas stabilitas politik dengan pertembuhan ekonomi? Meminjam istilah Pye, political development as prerequisite of economy development. Negara pasca kolonial mempunyai masalah dalam pembangunan ekonomi yakni terkait modal dan teknologi. Oleh karenanya bisa dipahami peraturan pertama yang dikeluarkan Soeharto terkait dengan investasi. Kebutuhan akan modal asing inilah yang mendasari pemerintahan orde baru menciptakan stabilitas. Tidak ada kekuatan di Indonesia saat itu yang lebih memungkinkan digunakan untuk menciptakan stabilitas selain militer. Atas pertimbangan inilah kemudian Soeharto melakukan upaya menciptakan stabilitas politik, salah satu langkah yang diambil yakni menempatkan militer dalam posisi strategis pemerintahan dan lembaga politik khususnya Golkar dan lembaga legislatif. Fungsinya untuk mengawasi aktivitas politik masyarakat dan ”mengikat kaki dan tangan” partai politik agar tidak melakukan aktivitas oposisi. Pemerintahan orde baru terpengaruh pula dengan teori modernisasi yang menggambarkan demokrasi dimulai dengan pembangunan ekonomi (Lipset ataupun Huntington). Wajar kiranya ketika orbe baru ”menahan” demokrasi dengan dalih pembangunan ekonomi. Menahan demokrasi sampai saat tertentu untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi dapat dipahami, akan tetapi Soeharto melakukan kesalahan dengan membiarkan dominasi militer terus berlangsung.
4). Upaya Soeharto mempertahankan kekuasaan, ketaatan serta hasrat kekuasaan perwira.
Naiknya Soeharto banyak kalangan menilai merupakan buah dari kudeta militer, bukan dari mandat SUPERSEMAR. Sejarah penyerahan estapet pemerintahan dari tangan Soekarno ketangan Soeharto masih menyimpan banyak misteri. Dominasi militer dalam pemerintahan orde baru, harus dilihat pula sebagai upaya Soeharto mempertahankan kekuasaanya. Pandangan ini sangat relevan ketika Soeharto secara pribadi tampil dominan didalam tubuh Golkar sebagai ketua dewan pembina ataupun mendorong militer untuk mendominasi struktur Golkar agar memastikan Golkar dapat keluar sebagai pemenang sehingga bisa melanggengkan kekuasaan Soeharto. Keinginan Soeharto melanggengkan kekuasaan bertemu dengan ketaatan dan hasrat kekuasaan para perwira militer, apa yang dilakukan militer disatu sisi memperlihatkan bentuk ketaatan terhadap otoritas politik untuk memberikannya peran yang dominan dalam perpolitikan, namun, ketaatan yang ada diliputi pula hasrat kekuasaan yang kuat. Tentunya kalangan militer mempunyai hasrat kekuasaan yang sama kuatnya dengan kalangan sipil. Kondisi militer seperti ini menjadi kecenderungan global. Banyaknya purnawirawan ataupun perwira militer yang pensiun dini (alih satus) sebagai persyaratan maju dalam Pilpres ataupun pemilihan kepala daerah menunjukkan hasrat tersebut.
5). Memperjuangkan kepentingan militer
Eric A. Nordlinger menegaskan bahwa, anggaran dana tahunan militer yang memadai merupakan salah satu kepentingan korporat militer. Campur tangan militer Peru diantara rangkaian kudeta yang terjadi antara tahun 1912-1964, dikarenakan pemerintahan sipil berusaha menurunkan anggaran belanja militer. Oleh karenanya, penguasa yang menggantikan pemerintah yang ditumbangkan segera melakukan relokasi demi meningkatkan jumlah anggaran militer. Arif Yulianto melihat setidaknya ada 3 ( tiga ) kepentingan yang memainkan peranan amat penting dalam keputusan militer untuk campur tangan dalam politik, yaitu: Pertama, militer dalam memperjuangkan kepentingan kelompok atau organisasi, baik untuk memperoleh fasilitas-fasilitas militer maupun untuk memberikan gaji yang layak kepada anggotanya, jika para pemimpin sipil gagal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka ada kecenderungan militer yang lebih besar untuk terpolitisasi dan terintervensi dalam politik. Kedua, korps militer adalah wakil penting dari kelas menengah perkotaan, dan apabila pemerintah gagal untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah, maka kelompok perwira militer diperkirakan akan melakukan tekanan terhadap pemerintah, bahkan kemungkinan menjatuhkannya. Ketiga, para pemimpin puncak militer dapat pula membangun kepentingan-kepentingan pribadinya melalui intervensi militer dengan menempatkan mereka di dalam petronase pemerintah.
2. Militer di Era Reformasi
Gelombang reformasi Mei 1998 memaksa ABRI mengadakan perubahan internal dalam organisasi hingga paradigmanya. Beberapa langkah awal reformasi organisasi TNI adalah mengubah nama ABRI menjadi TNI, kemudian diikuti dengan langkah restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Misalnya, likuidasi beberapa organisasi ABRI yang dianggap tak sesuai dengan semangat reformasi seperti Badan Pembinaaan Kekaryaan (Babinkar) yang di era Orde Baru mengelola penempatan ABRI dalam struktur pemerintahan sipil, likuidasi Kepala Staf Komando Teritorial (Kaster) TNI, serta likuidasi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang membuat militer mengontrol kehidupan politik.
Reformasi mencanangkan Paradigma Baru ABRI melalui langkah reaktualisasi, reposisi dan redefinisi peran ABRI 1999. Pertama, mengubah cara-cara pendekatan secara langsung menjadi tidak langsung. Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Ketiga, mengubah dari konsep harus selalu di depan menjadi tidak harus selalu di depan. Keempat, kesiapan untuk melakukan pembagian peran dengan mitra non ABRI. Empat hal yang dicanangkan oleh Panglima ABRI Jenderal (TNI) Wiranto dinilai sebagai perubahan paradigma yang separuh hati. Makna substansial Paradigma Baru ialah ABRI tetap menganggap dirinya superior, serba lebih tahu urusan negara dan dengan sendirinya mensubordinasi politik sipil. Pola pikir seperti ini yang masih membuat lambatnya perubahan yang terjadi di internal militer.
Demokratisasi politik tingkat nasional kemudian melahirkan produk regulasi politik dan kebijakan yang menata sistem keamanan nasional. Ini tercermin dalam langkah positif yang berarti berupa pemisahan TNI dan Polri, April 1999. tindakan kepolisian akan lebih oleh aparat kepolisian tanpa harus khawatir dengan intervensi kepentingan militer. Kemajuan ini lalu diperkuat oleh TAP MPR No. VI Tahun 2000 dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengatur tentang pemisahan peran TNI dan Polri. Pada tahun yang sama, dilakukan amandemen konstitusi UUD 1945, termasuk ketentuan Pasal 30 mengenai pertahanan dan keamanan negara yang menegaskan pembedaan fungsi pertahanan dan keamanan. Langkah-langkah ini sempat menimbulkan polemik. Kepentingan pemisahan organisasi antara TNI dengan Polri adalah sesuatu yang mendesak. Namun sebagian kalangan menilai pemisahan tugas dan peran yang dikotomis antara pertahanan dan keamanan, berpotensi menimbulkan masalah, diantaranya kebingungan dalam menangani kejahatan transnasional dan potensi konflik antara personel Polri dan TNI di lapangan.
Arus reformasi juga mulai mengurangi dominasi Angkatan Darat (AD) dalam TNI. Pada era Soeharto berkuasa, jabatan Panglima TNI selalu berasal dari AD. Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden, mendobrak tradisi ini dengan mengangkat seorang Marsekal Angkatan Laut (AL) sebagai Panglima TNI. Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrahman Wahid membuat jabatan Panglima TNI diisi kembali dari AD. Di penghujung pemerintahan Megawati, Undang-undang 34/2004 tentang TNI disahkan dan menyatakan bahwa posisi Panglima TNI dijabat secara bergantian. Upaya melanjutkan kepemimpinan TNI di bawah Jenderal (AD) Ryamizard Ryacudu sempat memicu kontroversi, saat Presiden hasil Pemilu 2004 Susilo Bambang Yudhoyono tetap memutuskan Marsekal TNI AU Djoko Suyanto sebagai Panglima TNI.
KontraS mencatat, pasca 2004 banyak anggota TNI, baik purnawirawan maupun yang masih aktif ikut dalam pertarungan pemilihan kepala daerah (pilkada). Meskipun jauh-jauh hari Panglima TNI yang waktu itu dijabat oleh Jenderal Endriartono Sutarto sudah memperingatkan mengenai netralitas TNI dalam pilkada, serta tidak diperkenankannya anggota TNI aktif untuk ikut mencalonkan diri, namun kembali fakta di lapangan berkata lain, beberapa anggota TNI aktif tetap tergoda untuk ikut bertarung berebut kursi gubernur/wakil gubernur ataupun walikota/bupati. Fenomena ini sebenarnya disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, persoalan regulasi politik yang memang masih memberi peluang bagi anggota aktif TNI untuk ikut mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Walaupun dalam UU TNI Pasal 39 Ayat (4) sudah ditegaskan, setiap prajurit (anggota TNI aktif) dilarang untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya, UU Pemilihan Umum masih memberi celah tersebut. Anggota TNI aktif boleh mencalonkan diri sebagai calon dalam Pemilu dengan syarat harus berstatus non aktif yang bersifat sementara, jika terpilih baru kemudian diberhentikan/pensiun dini. Celah inilah yang membuat TNI secara institusional tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada anggotanya yang berniat untuk ikut bertarung dalam pemilihan umum.
Kedua, tentu persoalan paradigma juga masih merupakan masalah pokok. Sejak proses reformasi 1998, TNI gagal untuk meredefinisikan atau merevitalisasi paradigma mengenai “TNI adalah tentara rakyat” yang lahir dari rakyat dan bersama rakyat. Paradigma ini cenderung mengaburkan hubungan sipil militer dalam sistem negara, sehingga dengan berbekal paradigma itu, TNI selain berperan dalam pertahanan negara juga harus memiliki peran di wilayah publik seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kegagalan meredefinisikan paradigma ini, membawa figur-figur militer masih terus tergoda untuk masuk ke wilayah publik, contoh nyatanya adalah pilkada. Celakanya kegagalan paradigmatik ini diikuti dengan tumpulnya analisa politik dari kalangan militer dalam membaca perubahan, peluang politik yang ditawarkan partai politik tidak seiring dengan kesadaran dan minat pemilih.
Hal ini dibuktikan dengan tumbangnya beberapa figur militer di beberapa pilkada. Contohnya adalah gagalnya Tayo Tahmadi di Jawa Barat yang disusul kalahnya Agum Gumelar pada pemilihan Gubernur selanjutnya di Jawa Barat. Hal yang sama dialami Tritamtomo di Jawa Timur, disusul Letkol (Bais) Didi Sunardi di Serang Banten, dan Kolonel (Inf) DJ Nachrowi di Ogan Ilir Sumatera Selatan. Belum lagi pertarungan dua Jenderal purnawirawan yakni Letjend TNI (Purn) Bibit Waluyo dan Mayjen TNI (Purn) Agus Suyitno di Jawa Tengah. Kekalahan-kekalahan ini menunjukkan bahwa pilihan rakyat tidak lagi menyandarkan pilihannya pada figur yang berlatar belakang militer, sehingga sangat merugikan bagi TNI, jika melepaskan kader-kader terbaiknya untuk bertarung dalam kontestasi pemilu. Tenaga dan pikiran mereka akan berkontribusi lebih banyak jika fokus pada tugas pokok TNI yang diamanatkan konstitusi kita sebagai alat pertahanan negara.
Ketiga, masalah lain berada di luar institusi TNI, yakni lemahnya kapasitas politik sipil dalam hal kaderisasi internal partai. Frustasi politik dalam mencetak kader yang berkualitas, selalu membuat partai masih mencari-cari figur dari militer yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Dalam hal ini figur militer selalu difasilitasi dan ditarik-tarik oleh partai untuk masuk dalam kontestasi politik. Peluang ini jelas disambut baik oleh para figur militer yang memang kebetulan punya ambisi politik namun peluang politiknya tertutup oleh proses reformasi TNI yang memangkas tradisi politik TNI. Secara institusi TNI juga tidak bisa berbuat banyak, karena peluang itu sah dan dibenarkan oleh regulasi yang ada. Majunya calon berlatar belakang militer bisa dilihat dari banyaknya purnawirawan Jenderal yang berminat untuk bertarung dalam kontestasi pemilihan presiden 2009 maupun yang ikut dalam pengurus partai politik. .
Konsep kemanunggalan yang disalah artikan. Tidak ada yang memungkiri, pada saat perang kemerdekaan militer Indonesia adalah satu kesatuan, saling bahu membahu melawan kolonialisme Belanda pada saat itu, namun fakta sejarah ini tidak bisa kemudian diklaim sebagai hak sejarah oleh TNI.
“Historical fallacies (kesalahan sejarah) telah menumbuhkan persepsi yang salah, bahwa fakta sejarah harus diperlakukan sebagai hak sejarah. Sekalipun barangkali fakta sejarah menunjukkan, TNI adalah anak kandung revolusi dan tak terpisahkan dari rakyat, sehingga menyandang peran ganda – sebagai militer profesional sekaligus sebagai kekuatan sosial politik – fakta tersebut tidak bisa dengan sendirinya menjadi hak”

Konsep kemanunggalan rakyat dengan TNI pada masa Orde Baru melegitimasi peran sosial politik TNI. Kini zaman sedang berubah, landasan historis TNI seharusnya bisa lebih dinamis, konsep pertahanan modern dengan melibatkan rakyat dalam definisi konvensional adalah paradigma usang. Perlu digagas hubungan sipil militer, jarak, tugas dan tanggungjawab yang jelas. TNI dan masyarakat sipil di negara demokrasi tidaklah berada pada posisi sejajar, tapi masyarakat sipil adalah pemegang kedaulatan tertinggi, termasuk supremasi terhadap militer melalui mekanisme politik yang ada.
Persoalan paradigmatik ini kemudian berujung pada kekeliruan doktrin pada level operasional (doktrin pelaksanaan) yang dikenal sebagai doktrin Tri Dharma Eka Karya/Tridek (pengganti doktrin Catur Dharma Eka Karya/Cadek). Paradigma lama tanpa usaha melakukan redefinisi terhadap konsep kemanunggalan TNI dengan rakyat menjadikan pertahanan Indonesia masih mengandalkan unsur masyarakat sipil dalam konsep perang rakyat semesta-nya.

E. Penutup
Militer pada posisi yang sebenarnya bila ditandai dengan beberapa karakter: Pertama, militer mempunyai orientasi profesional yakni tidak cenderung melakukan intervensi dan dominasi dalam kehidupan politik; Kedua, militer hanya menjalankan fungsi pertahanan-kemanan; ketiga, secara institusional militer bertindak sebagai lembaga yang bertugas sebagai aparat negara, bukan sebagai komponen pemerintahan; keempat, militer sebagai lembaga yang didukung oleh pemerintah mengembangkan militerisasi dalam pengertian build-up, yakni membangun industri militer untuk kepentingan pertahanan-keamanan; kelima, ideologi militerisme ke dalam wilayah kehidupan masyarakat relatif terbatas; keenam, militer berada dalam posisi subordinat yang tunduk pada supremasi sipil dalam pemerintahan; ketujuh, derajat kontestasi militer atau keterlibatan dalam pembuatan keputusan nasional sangat terbatas dalam bidang pertahanan-keamanan dan kebijakan luar negeri; kedelapan, hak-hak istimewa militer dalam menggunakan kekuatan senjata (perang) sangat terbatas, dibawah kontrol sipil; kesembilan, kekuatan sipil, baik masyarakat sipil maupun masyarakat politik, dalam posisi dominan yang mengontrol sepak-terjang militer.
Militer sangat mendominasi perpolitikan Indonesia pada masa orde baru dengan menempati posisi strategis pemerintahan pusat ataupun daerah. Militer juga mendominasi struktur Golkar sampai dengan Munaslub 1998 serta mendapat perlakuan istimewa dalam lembaga legislatif dengan jumlah yang fluktuatif, militer mendapatkan jatah melalu mekanisme pengangkatan. Kondisi ini menyebabkan pelbagai dampai, khususnya terkait tersumbatnya peluang demokrasi atau berbaliknya Indonesia menjadi rezim otoriter serta menurunkan profesionalisme militer, ini bisa dirasakan sampai saat ini, dimana Indonesia memiliki kompentensi tempur prajurit yang rendah dan sistim pertahanan yang lemah. Lemahnya sistim pertahanan menjadi salah satu faktor melemahnya posisi Indonesia dalam melakukan diplomasi dengan negara-negara tetangga. Faktor penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia disebabkan 2 faktor yakni faktor internal; hasrat kekuasaan para perwira termasuk didalam upaya Soeharto mempertahankan kekuasaan, memperjuangkan kepentingan militer khususnya terkait dana serta kesalahan memahami konsep stabilitas sebagi prasyarat pembangunan. Sedangkan faktor eksternal terkait dengan kegagalan pemerintahan orde lama.(instabilitas politik, pemberontakan didaerah dan krisis ekonomi).

Daftar Pustaka
Azca, Najib, Praktek-Praktek Bisnis Militer, Jakarta: RIDEP Institute, 2003

Chrisnandi, Yuddy, Reformasi TNI Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2005.

Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999

Diamond, Larry dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi,
Jakarta: Raja Grafindo, 2001

Fatah, Eep Saefullah, Zaman Kesempatan, Bandung: Mizan, 2000

_________________, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, Jakarta : Ghalia
Indonesia

Haramain, A Malik, Gus Dur, Militer dan Politik, LKis, Jogyakarta, 2004

Hutington, Samuel Prajurit dan Negara, Jakarta: Grasindo, Jakarta, 2003

Janowitz, Morris, Hubungan-Hubungan Sipil Militer Persfektif Regional, Jakarta: Bina
Aksara, 1985

Jenkins, David, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba Rezim Militer 1975-1983, Jakarta:
Komunitas Bambu, 2010, hal.266

La Ode, M.D, Peran Militer Dalam Ketahanan Nasional, Studi Kasus Bidang Hankam di
Indonesia 1967-2000, Jakarta: Sinar Harapan.

Liddle, R William, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta:
LP3ES, 1992

Muhaimin,Yahya A, Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia, Jogyakarta : UGM
Press,1982

Nordlinger, Eric A, Militer dan Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Nugroho, Heru, Masyarakat Pasca Militer: IRE dan Pact Indonesia, tanpa tahun

Rinakit, Sukardi, The Military During Pre-Reform Period, Singapura

Tim Peniliti PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Bandung : Mizan, 1999

Samego, Indra, Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwi-Fungsi ABRI, Bandung : Mizan,
1998

Stepan, Alfred, Militer dan Demokratisasi, pengalaman brasil dan negara lain, Jakarta :
Grafiti, 1999

Sulistyo, Hermawan ,“Bedil dan Kursi, Dimensi Politik Militer di Indonesia”, Pensil 324,
2004.

Susanto, Budi dan A. Made Tony Supriatma, ABRI: Siasat Kebudayaan, 1945 – 1995.
Jogyakarta: Kanisius, 1995.

Tim Peniliti PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Bandung: Mizan, 1999.

Yayasan Insan Politika, Tentara yang Gelisah, Bandung: Mizan, 1999.

Yulianto, Pratomo Dwi, Kekuasaan dan Militer, Jakarta: Narasi, 2005.

Yulianto, Arif, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Raja
Grafindo, 2002.