renungan para sufi

RENUNGAN RENUNGAN SUFISTIK
Jalaluddin Rakhmat
Alkisah, ada seorang ustad. Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap. Beberapa orang kaya memanggilnya untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anaknya. Pada waktu yang ditentukan ia datang ke rumah murid-muridnya dengan teratur. Ketika ia mempunyai uang, ia datang dengan kendaraan umum. Ketika tidak ada ongkos, ia berjalan kaki. Setelah habis satu bulan, dengan penuh harap ia menunggu honorariumnya.Orang kaya yang pertama berkata,”Pak Ustad,saya yakin Bapak orang yang ikhlas. Bapak hanya mengharap ridha Allah. Saya akan merusak amal Bapak bila saya membayar bapak. Saya berdoa mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Bapak berlipat ganda.” Pak Ustad termenung. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia kebingungan. Ia measa ada sesuatu yang salah dalam ucapan orang kaya itu, tetapi dimana. Ia tidak tahu. Yang terbayang dalam benaknya adalah hari-hari yang dilewatinya untuk mengajar di situ; ketika ia datang berjalan kaki atau dengan ongkos hasil pinjaman. Yang terasa adalah perutnya dan perut keluarganya, yang tidak dapat diisi hanya dengan ikhlas.
Ia diam.Dan air matanya jatuh tak terasa.
Orang-orang kaya lainnya memberinya uang transpor yang sangat kecil,hampir tidak cukup unutk menggantikan ongkos angkot yang telah dikeluarkanna. Seperti orang kaya yang pertama,mereka juga menghiburnya dengan kata “ikhlas”. Ia bingung.”Kata ikhlas” adalah kata yang agung,tetapi kini terasa seperti pentungan baginya. Ia merasa diperas, dieksploitasi. Tetapi bila menuntut haknya, ia kuatir menjadi tidak ikhlas.
“Dahulu Rasulullah Saw. berdakwah dengan membagi-bagikan hartanya kepada pendengarnya.Sekarang mubaligh menerima pesangon dari jamaah yang didatanginya. Bukankah itu berarti menjual ayat-ayat Allah? Tidakkah mubaligh itu mendagangkan ayat-ayat Allah? Tidakkah mubaligh itu mendagangkan agamanya dan keyakinannya untuk dunia?
Bukankah ia tidak ikhlas dalam berjuang?
Betapa seringnya kata-kata digunakan untuk menyembunyikan kenyataan, dan bukan untuk mengungkapkannya. Korzybsky – ahli general semantics – benar ketika ia menyatakan bahwa ada hubungan antara kekacauan penggunaan bahasa dengan penyakit jiwa; dan bahwa masyarakat hanya dapat disehatkan kembali dengan menertibkan istilah-istilah yang mereka ganti.
Nabi Saw, megirimkan pasukan terdiri dari tiga puluh orang. Mereka tiba pada sebuah perkampungan. Mereka menuntut hak sebagai tamu, tapi tak seorangpun menjamu mereka. Pada saat yang sama, pemimpin kaum itu digigit ular. Mereka meminta bantuan para sahabat untuk mengobatinya. Abu Sa’id AL-Khudhri bersedia mengobatinya, asalkan mereka membayarnya dengan tiga puluh ekor kambing. Ia membacakan Surah Al-Fatihah tiga kali. Orang itu sembuh. Ketika Abu Sa’id membawa kambing-kambing itu, para sababat lain menolaknya. “Engkau menerima upah dari membaca Kitab Allah?” tanya mereka. Ketika sampai di Madinah, mereka menceritakan kejadian itu kepada Nabi yang mulia.”Bagikan di antara kalian. Tidak ada yang paling pantas kalian ambil upahnya seperti membaca Kitab Allah.” sabda Nabi Saw. (HR Bukhari Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lain-lain; lihat tafsir Al-Durr Al-Mantsur).
Nabi Saw. tidak menyebut Abu Sa’id Al Khuduri menjual ayat-ayat Allah. Ia bahkan mengatakan bahwa mengambil upah dari membaca Kitab Allah itu sangat pantas. Dalam Al-Qur’an,orang yang menyebarkan ajaran Islam termasuk “fi sabilillah” dan berhak mendapat bagian dari upah dan zakat, walau pun ia kaya raya. Ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah.
Erving Goffman dalam bukunya yang klasik The Presentation of Self in Everyday Life, ada yang disebut sebagai penyajian diri (presentation of self). Kita semua adalah pemain drama.Di tengah-tengah masyarakat, kita ingin menyajikan diri kita seperti “naskah” yang kita persiapkan. Diri yang kita tampilkan di depan umum disebut public self.Karena kita tahu, orang membentuk kesan tentang diri kita dari perilaku yang kita tampilkan (Goffman menyebutna “face”), kita “rekayasa” perilaku kita. Orang memperoleh kesan tentang diri kita dari pembicaraan kita; maka kita atur pembicaraan kita sesuai dengan kesan yang ingin kita peroleh. Rekayasa kesan ini kemudian disebut impression management (pengelolaan kesan).Untuk mengelola kesan, selain pembicaraan (yang dapat didengar atau dibaca), kita menggunakan lambang-lambang visual (yang dapat dilihat).Termasuk lambang-lambang visual adalah tindakan, penampilan,kendaraan, rumah atau benda-benda lainnya. Anda busungkan dada Anda dengan mata menatap lurus ke depan. Anda sedang menggunakan tindakan untuk menimbulkan kesan “bos”. Sambil mengenakan pakaian yang “trendy” dan parfum mahal. Anda menyerahkan credit card kepada pelayan restoran. Anda menggunakan penampilan agar orang tahu bahwa Anda pengusaha muda yang sukses.
Setiap hari kita melakukan pengelolaan kesan. Yang demikian itu wajar-wajar saja. Yang tidak wajar dan tidak dibenarkan oleh agama ialah menggunakan lambang verbal dan nonverbal supaya orang lain menganggap kita orang saleh. Bila Anda menggunakan lambang verbal (yangbisa didengar) untuk itu, Anda melakukan sum’ah. Bila anda menggunakan lambang nonverbal (yang dapat dilihat) untuk itu, Anda melakukan riya’. Riya’ dan sum’ah keduanya bertentangan dengan ikhlas. Bila ikhlas adalah beribadat atau beramal saleh unutk mendekatkan diri kepada Allah (karena Allah), riya’ dan sum’ah beribadat untuk
mendekatkan diri kepada manusia (karena manusia).Dalam sebuah riwayat diceritakan orang-orang yang digiring ke neraka. Allah Swt. memerintahkan agar Malik (malaikat penjaga neraka) tidak membakar kaki-kaki mereka, sebab kaki-kaki itu pernah dilangkahkan ke masjid dan tidak membakar tangan-tangan mereka,sebab tangan-tangan itu pernah diangkat untuk berdoa.Malik bertanya, “Apa yang terjadi kepada kalian hai orang-orang celaka?” Ahli neraka menjawab,”Kami dahulu beramal bukan karena Allah” (BiharAl-Anwar 8:325).
Riwayat lain bercerita tentang orangyang membaca Al-Qur’an siang dan malam, yang terbunuh fisabilillah, dan yang menginfakkan hartanya. Ketiga-tiganya dimasukkan ke nerak. Yang pertama masuk neraka karena ingin disebut qari’, yangkedua ingin disebut pemberani, dan yang ketiga ingin dipanggil orang dermawan (Bihar Al-Anwar72:305).
Mengapa kamu tidakpuas dengan membatasi amal salehmu hanya untukmu saja dan apa yang kau inginkan dari pemberitahuan kepada orang lain tentang amal salehmu, karena begitu ada kesempatan kamu segera mengumumkannya. Jika perbuatan itu dilakukan karena Allah, atau kamu bermaksud agar orang menirumu,atau kamu berpikir sesuai dengan hadis ‘yang menunjukkan kebaikan sama dengan yang melakukannya’ sambil kamu melakukannya, penampakan amal seperti itu masih dibenarkan. Bersyukurlah kepada Allah, karena ia telah memungkinkan kamu bertindak dengan sepenuh kesadaran dan kemurnian hati. Tetapi hendaknya kamu selalu berhati-hati akan jebakan-jebakan setan ketika memeriksa dirimu, sebab setan dapat memproyeksikan amal riya’ sebagai amal yang suci dan ikhlas.
wallahu a’lam

Check out my Slide Show!

Check out my Slide Show!

Check out my Slide Show!

Check out my Slide Show!

TAHAPAN PEMBANGUNAN MENURUT KONSEP ORGANSKY DAN ROSTOW ( Studi Tentang Kebijakan Pembangunan di Era Orde Baru)

Pendahuluan

Tak dapat disangkal lagi bahwa selama rezim Soeharto berkuasa, pelaksanaan demokrasi dapat dikatakan kurang berjalan secara maksimal. Kalaupun ada demokrasi hanya dilakukan sebatas prosedural dan formalitas belaka, bukan dalam arti demokrasi yang sebenarnya. Dengan jargon politik no, ekonomi yes, maka tak mengherankan jika rezim Soeharto ( red- Orde Baru ) lebih menekankan kepada pembangunan ekonomi. Mengapa demikian, karena kekeliruan di masa Orde Lama di bawah rezim Soekarno, yang mengabaikan pembangunan ekonomi akhirnya membuat Indonesia semakin terpuruk, dan klimaksnya terjadi inflasi mencapai 600 %, stabilitas politik dan keamananpun terganggu. Bak sebagai pahlawan, Soeharto tampil menggantikan Soekarno untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan yang mulitidimensional. Dengan didukung militer, Soeharto kemudian mengambil langkah-langkah strategis, terutama melakukan recoveri ekonomi dalam waktu secepat mungkin.

Tampilnya Soeharto dengan rezim Orde Barunya, sudah barang tentu memberikan warna politik tersendiri dalam perspektif pembangunan politik di Indonesia yang lebih menekankan kepada sektor pembangunan ekonomi. Jika pada masa Orde Lama , pembangunan politik seakan-akan menjadi panglima, namun di masa Orde Baru justru sebaliknya, pembangunan ekonomi yang menjadi panglimanya. Dengan konsep pembangunan ekonomi yang terencana yang diformulasikan ke dalam konsep Pembangunan Lima Tahun (PELITA), maka Orde Baru mulai bangkit dalam menata perekonomian nasional saat itu.

Akibat dari pilihan ini, perubahan sosial mengalami stagnasi karena rakyat Indonesia dipaksa berada dibawah kungkungan politik yang diterapkan. Seluruh energi, dan pikiran bangsa dieksploitasi untuk mensukseskan program ekonomi yang telah dicanangkan. Sementara bagi kekuatan-kekuatan lawan politik yang berusaha menghadang, menghambat dan menggagalkan rencana tersebut, akan dilibas habis oleh kekuatan militer yang senantiasa loyal kepada Soeharto. Karena itu stabilitas politik sebagai prasyarat utama dalam mendungkung program ekonomi, mutlak diperlukan.
Pokok Permasalahan

Pembangunan nasional di masa Orde Baru telah di rencanakan meliputi pembangunan jangka panjang, menengah dan pendek. Pembangunan jangka panjang tahap I (PJPT I) berlangsung selama 25 tahun. PJPT I terdiri atas lima tahapan jangka menengah. Setiap tahapan jangka menengah waktunya lima tahun yang dikenal dengan nama pembangunan lima tahun (pelita). Setiap pelita di bagi menjadi lima tahapan jangka pendek, yaitu satu tahunan yang di kenal sebagai pelita tahun pertama, dan seterusnya sampai pelita tahun ke lima.

Dalam membahas makalah ini, akan diangkat pokok permasalahan yaitu sudah berada ditahapan mana Indonesia dalam menjalankan pembangunannya kkhususnya selama Orde Baru, jika dikaitkan dengan teori Rostow dan Organsky?

Kerangka Pemikiran

Untuk membahas permasalahan tersebut di atas, akan digunakan beberapa teori, sehingga dengan landasan teori tersebut dapat terlihat bagaimana strategi dan tahapan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama Orde baru berkuasa.

Pembangunan Ekonomi pada umumnya sering didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk sesuatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang.1

Dari definisi ini dapat dilihat bahwa pembangunan ekonomi mempunyai 3 (tiga) sifat penting yaitu : suatu proses yang berarti merupakan perubahan yang terjadi terus menerus, upaya menaikkan tingkat pendapatan per kapita, dan kenaikan pendapatan per kapita itu harus terus berlangsung dalam jangka panjang.

Bangsa-bangsa di negeri-negeri yang sudah maju tumbuh dan berkembang melalui tahapan yang cukup sistematis, baik di bidang ekonomi maupun di bidang politik. Pada umumnya suatu bangsa tumbuh melalui tahap-tahap perkembangan politik.

Menurut Samuel P Huntington: ‘Tujuan dari pembangunan politik adalah untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi; melembaganya pemerataan bagi warga; terbangunnya iklim yang demokratis; terciptanya stabilitas dan otonomi nasional.2

Kerangka Teori Pembangunan menurut W.W. Rostow

Salah satu teori yang sangat populer mengenai tahapan-tahapan pembangunan Ekonomi, adalah terori yang dikemukakan oleh W.W. Rostow. Menurut Rostow dalam bukunya ” The State of Economic Growth ” A Non-Communist Manifesto bahwa pembangunan ekonomi merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus/linear dari masyarakat terbelakang ke masyarakat niaga. Selanjutnya ia mengklasifikasikan perkembangan ekonomi menjadi lima tahapan perlembagaan/perubahan masyarakat yaitu : 3

1. Masyarakat Traditional

Dalam Tahapan ini digambarkan bahwa masyarakat tradisional merupakan tahapan dimana tingkat perekonomian berada pada titik rendah. Kondisi ini ditandai dengan rendahnya output per capita dan berada dalam kondisi stagnan (tidak mengalami peningkatan yang mencolok) untuk jangka waktu yang panjang. Lambatnya perkembangan ekonomi pada tahap ini dikarenakan tidak adanya budaya produktivitas atau secara nyata belum ada tradisi untuk melakukan aktivitas ekonomi. Keadaan ini terjadi pada setiap masyrakat manapun sebagai statu awal dari sejarah manusia. Karakteristik masyarakat taradisional juga ditandai dengan masih dikuasi oleh adanya kepercayaan-kepercayaan terhadap kekuatan supranatural. Masyarakat tunduk kepada kekuatan alam, mereka belum mampu menguasai alam. Akibatnya produksi masih sangat terbatas, dan kehidupannya statis.
2. Prakondisi Lepas Landas

Prakondisi untuk lepas landas (precondition for take-off) dimulai ketika era masyarakat tradisional telah berakhir. Kondisi ini berubah karena masyarakat tradisional mendapat pengaruh dari luar dari masyarakat yang sudah lebih maju. Hal ini bisa kita lihat misalnya seperti yang terjadi di Jepang, dengan dibukanya masyarakat ini oleh armada Angkatan Laut Amerika Serikat.
Bahkan di Eropa masa ini ditandai dengan berkahirnya feodalisme, tumbuhnya kelompok borjuis di kota-kota perdagangan, kebebasan beragama yang ditunjukkan dalam berbagai agama protestan, serta kemajuan ilmu pengetahuan. Menurut Rostow, persiapan untuk industrialisasi yang berkelanjutan antara lain membutuhkan perubahan radikal pada tiga sector non industri. Pada tahapan ini, usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat sudah mulai terjadi. Tabungan masyarakat ini mulai dipakai untuk melakukan inverstasi pada sektor-sektor produktif yang lebih menguntungkan, termasuk misalnya pendidikan.

3. Lepas Landas

Tahap lepas landas (take-off) merupakan era di mana resistensi ekonomi dan kemantapan telah tumbuh secara normal. Struktur ekonomi menguat bersamaan dengan investasi yang gencar oleh pemerintah maupun masyarakat secara mandiri. Pada tapan inilah muncul kelas baru dari kelas menengah yang disebut entrepreneur yang mandiri. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam tahap lepas landas :

1. Harus ada kenaikan tingkat investasi yang produktif dari 5 persen atau kurang menjadi 10 persen atau lebih dari pendapatan nasional (net national product).
2. Munculnya satu atau lebih cabang industri yang kuat dengan tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi.
3. Tatanan politik, social dan kelembagaan telah berkembang dengan baik sehingga mampu mendorong perluasan ekonomi modern dan efek-efek ekonomi eksternal yang berpotensial dari kegiatan lepas landas menuju pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

4. Tahap Kematangan

Tahapan selanjutnya setelah lepas landas adalah tahap kematangan (the drive to maturity). Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per cápita sudah teratur. Teknologi modern sudah teraplikasi pada hampir seluruh sumber daya wilayah. Investasi berlanjut dengan baik di atas 10 persen dari pendapatan nasional. Cara hidup berubah pada sebagian besar orang selama era kematangan. Populasi lebih cenderung kepada perkotaan daripada pedesaan. Proporsi pekerja semi-skilled dan white collar meningkat. Kekuatan proletariat baru kota bertangan lembut muncul sehingga negara menyediakan jaminan social dan ekonomi.

5. Tahap Konsumsi tingkat tinggi

Dalam skema Rostov tingkatan tertinggi adalah era konsumsi massa yang tinggi ( the age of high mass consumption). Yang pertama sekali mencapai tingkat ini adalah Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Di Inggris tahap ini dimulai pada 1930-an, tetapi disela oleh Perang Dunia II. Pada Negara-negara Eropa Barat continental baru dimulai pada 1950-an. Pada setiap kasus tahap ini ditandai oleh pergerakan ke daerah pinggiran kota, munculnya mobil, dan penggunaan barang-barang dan peralatan konsumsi yang tahan lama dalam jumlah tak terhitung.

Tahapan Perkembangan Politik Organski

Dalam The Stages of Political Development, Organski mengemukakan empat tahapan pembangunan politik,4 secara singkat dapat disimpulkan antara lain:

1. Tahap Unifikasi Primitif (Political of Primitive Unification)

Pada tahap ini pemerintahan di negara-negara masih berkosentrasi pada fokus menyatukan suku-suku bangsa yang berserakan secara nasional, baik akibat kolonialisme maupun pasca imperialisme dan kolonialisme. Demokrasi dan pemerintahan belum efisien dan ancaman separatisme masih kuat.
2. Tahap Politik Industrialisasi (Politics of Industrialization)

Pada tahap ini pemerintahan berfungsi untuk mendorong tumbuhnya industri dan modernisasi ekonomi yang dilakukan salah satu dari tiga tipe ideologis di dalam negara: borjuis, stalinis, dan fasis. Di sini mulai terjadi peralihan kekuasan dari elite tradisional ke manajer industri, pemupukan modal untuk industri, dan migrasi penduduk dari desa (pinggiran) ke perkotaan.

3. Tahap Politik Kesejahteraan (National Social Welfare)

Pada tahap ini industrialisasi bergerak secara nasional dan fungsi pemerintah adalah melindungi industri, menciptakan iklim usaha dan menyejahterahkan rakyat berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang berhasil dipacu.

4. Tahap Politik Kemakmuran (Politics of Abundance)

Pada tahap ini negara telah bergerak ke arah otomatisasi, dimana industri berjalan karena penggunaan teknologi canggih yang dapat menggantikan tenaga manusia. Negara kembali dituntut untuk melindungi rakyatnya dari ketergantungan dan kemungkinan besar terjadinya ledakan pengangguran, meski pun kemampuan negara sangat besar. Tidak ada negara yang benar-benar berada pada tahap ini, kecuali AS dan beberapa negara Eropa Barat yang berada pada pintu gerbang tahap Kemakmuran ini.

Pembahasan

Pembangunan pada awalnya sering diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi. Sudah menjadi kelaziman bahwa pembangunan dikatakan berhasil bila pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat cukup tinggi. Dalam konteks ini, maka yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara itu meningkat atau tidak dalam setiap tahunnya. Dalam bahasa eknominya produktivitas itu diukur oleh Produk Nasional Bruto (PNB) dan Produk Domestik Bruto (PDB).

Kedua variabel ini, selanjutnya dapat kita pakai untuk membandingkan keberhasilan pembangunan sebuah negara dengan negara lainnya. Sebuah negara yang mempunyai PNB/kapita/tahun sama dengan US $750 sudah barang tentu dianggap lebih berhasil pembangunannya daripada negara lain yang PNB/kapita/tahunnya adalah US $500. 5

Pembangunan ekonomi dan politik merupakan rangkaian pembangunan yang harus berjalan secara simultan dan gradual tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Mengapa? Karena suatu negara di manapun di dunia ini tidak bisa serta merta memfokuskan kepada satu sektor saja dalam proses pembangunannya. Dan pembangunan sektor ekonomi juga berkaitan erat dengan pembangunan sektor lainnya seperti, politik, hukum, sosial budaya dan ain-lain.

Pada dasarnya konsep pembangunan yang digambarkan oleh Rostow dan Organksi terkait dengan perkembangan masyarakat (negara), jika dibanding-bandingkan sebenarnya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah baik Rostow maupun Organski mengatakan bahwa pertumbuhan dari tahap pertama hingga tahap terakhir, akan berjalan secara linier. Artinya, proses tahapan perkembangan akan berjalan secara tahap demi tahap dan berurutan serta tidak meloncat-loncat. Sebuah negara yang sedang menjalankan tahap pemabngunannya, sudah barang tentu tidak akan melalui tahap ketiga sebelum ia berada ditahap yang kedua. Dan begitu seterusnya.

Karena dalam membuat klasifikasi tahapan perkembangan menggunakan pendekatan yang berbeda (Rostow menggunakan pendekatan ekonomi dan Organski menggunakan pendekatan politik) maka kerangka bangunan tahapannya juga memiliki perbedaan. Walaupun sebetulnya jika dikaji secara lebih mendalam agak mirip-mirip, artinya beda-beda tipis. Perbedaan kedua terletak pada pembagian tahapan perkembangannya. Jika Rostow membagi tahapan perkembangan ekonominya menjadi lima tahap, maka Organski hanya membagi tahapan perkembangan politiknnya menjadi empat tahap. Selanjutnya Organski merangkum tahapan yang disebut oleh Rostow sebagai tahapan pra-tinggal landas dan tinggal landas sebagai tahapan industrialisasi. Massa kedewasaan yang dimaksudkan Rostow diklasifikasikan sebagai tahap kesejahteraan oleh Organsky. Sementara masa konsumsi tingkat tinggi dimasukkan oleh Organski sebagai tahap otomatisasi.

Sedangkan perbedaan yang sangat mencolok berikutnya adalah jika Rostow dengan pendekatan ekonomi mengatakan bahwa perkembangan yang ia klasifikasikan bisa berjalan dengan baik dengan syarat adanya ketersediaan modal. Bagi Rostow modal menjadi faktor signifikan untuk menggerakkan sektor ekonomi bagi semua negara. Sementara Organski lebih memfokuskan pada kestabilan politik sebagai syarat agar tahapan pembangunan bisa berjalan linier. Perbedaan ini dikarenakan disiplin ilmu yang mereka pakai berbeda.

Organzki menjelaskan tahap-tahap perkembangan politik, yakni, tahap politik unifikasi primitif, politik industrialisasi, politik kesejahteraan nasional dan Politik Berkelimpahan. Bangsa-bangsa yang tumbuh lebih dahulu di negara-negara Eropa dan Amerika Utara pada umumnya mengalami tahap pertumbuhan ini selangkah demi selangkah. Sehingga dapat dikatakan bahwa Teori Organzki tentang tahap-tahap pembangunan politik terjadi dihampir semua negara. Di Eropa barat dan Amerika Utara kentara sekali bahwa tahap perkembangan negara di mulai dari tahap unifikasi primitif, Organzki menyebutkan perkembangan yang terjadi di Eropa Barat mulai terjadi pada abad ke 16, juga dibelahan dunia lain, asal mula negara ditandai dengan munculnya koloni-koloni Eropa. Tentunya dengan berbagai keunikan yang berbeda-beda dari suatu negara.

Organzki juga menyebutkan tahap selanjutnya setelah tahap Unifikasi Primitif yaitu negara masuk pada tahap Politik Industrialisasi, dimana negara mulai membangun dan berupaya memperkuat perekonomian dengan industrialisasi, pola pembangunan lewat industrialisasi merupakan pilihan yang ideal yang harus ditempuh, terutama oleh negara-negara maju seperti negara-negara di Eropa Barat. Perkembangan ini ditandai oleh proses industrialisasi di Inggris. Abad ke 18 merupakan titik kemajuan proses industrialisasi di Inggris dimana ditemukan berbagai inovasi terutama inovasi teknologi yang mendorong ditemukan mesin-mesin industri pabrik. Pilihan melakukan industrialisasi merupakan yang terbaik karena keunggulan komparatif negara-negara barat terletak pada produk-produk industri dan teknologi. Politik industrialisasi secara implisit masih terjadi di Indonesia, dimana proses industrialisasi dan pembangunan infrastruktur pendukung industri terus dilakukan, terlebih Krisis yang melanda Indonesia tahun 1998 membuat Indonesia bertahan lebih lama di fase ini.

Tahap selanjutnya menurut Organzki adalah politik kesejahteraan nasional, politik kesejahteraan nasional merupakan politik bangsa-bangsa industri sepenuhnya, tahap ini menurut Organzki adalah tahap dimana telah terjadi saling tergantungan antara rakyat dengan pemerintah yang selanjutnya menjadi lengkap. Kekuasaan negara tergantung pada kemampuan rakyat biasa untuk bekerja dan berjuang, dan rakyat bersama-sama dengan penguasa-penguasa industri, tergantung kepada pemerntah nasional untuk melindungi mereka terhadap kemiskinan akibat depresi dan kehancuran dari perang.

Fungsi primer pemerintah pada tahap industrialisasi adalah melindungi pengusaha yang memiliki modal untuk mempercepat laju industri, sedangkan dalam tahap ketiga merupakan tugas pemerintah untuk melindungi rakyat terhadap kesulitan-kesulitan kehidupan industri, untuk menjaga supaya ekonomi berjalan lancar, memberikan taraf kehidupan yang lebih tinggi yang lama mereka dambakan. Sebagian negara-negara maju dan negara berkembang sedang menjalan fase seperti ini, dimana fokus pemerintahan adalah mensejahterkan rakyatnya dengan berbagai macam fasilitas publik, pendidikan dan kesejahteraan.

Tahap terakhir menurut Organzki adalah Tahap Politik Berkelimpahan (politics of abundance) atau Otomatisasi, Organzki menyebutkan tak satu pun negara di dunia masuk dalam tahap ini, tetapi Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang paling maju telah memasuki gerbang Tahap Politik Berkelimpahan. Tahap ini ditandai oleh majunya teknologi, komputer dan kehidupan serba otomatis, sehingga mesin-mesin industri berjalan dengan otomatis yang berdampak pada pengangguran karena para buruh tersisih oleh kemampuan mesin.

Masyarakat pada tahap ini mempunyai ciri-ciri pemusatan kekuatan ekonomi, penggunaan mesin yang sangat mahal dan efisiensi produksi pabrik, ciri ini sudah terjadi pada beberapa negara maju, dimana telah tumbuh perusahaan-perusahaan besar yang memonopoli perekonomian yang merupakan kekuatan ekonomi global atau dikenal dengan Perusahaan Multi Nasional yang beroperasi di banyak negara di dunia.

Namun ada hal yang menarik bahwa ”unifikasi modern” juga menjadi tren dunia global saat ini, Uni Eropa European Union atau EU) adalah contoh jelas unifikasi modern sebuah organisasi antar-pemerintahan dan supra-nasional, yang terdiri dari negara-negara Eropa, yang sejak 1 Januari 2007 telah memiliki 27 negara anggota. Persatuan ini didirikan atas nama tersebut di bawah Perjanjian Uni Eropa (yang lebih dikenal dengan Perjanjian Maastricht) pada 1992.

Indonesia pada era orde baru adalah contoh dimana pembangunan ekonomi lewat indutrialisasi dalam Pembangunan jangka pendek dan jangka panjang dengan tahap-tahap Pelita (Pembangunan Lima Tahun) menjadi prioritas pemerintah. Sedangkan secara bersamaan mengekang pembangunan politik.

Pemerintah orde baru mulai melaksanakan rencana pembangunan lima tahun
sejak 1April 1969 melalui tahapan tahapan pelita. Perkembangan perekonomian Indonesia pada masing-masing pelita adalah sebagai berikut:

Pelita I dimulai 1 April 1969-31 Maret 1947. Pelita ini menekan pada rehabilitasi ekonomi, khususnya mengangkat hasil pertanian dan penyempurnaan system irigasi dan transportasi.Hampir seluruh target disektor produksi berhasil di capai, bahkan produksi beras meningkat 25%. Tujuan pelita I adalah menaikan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakan dasar-dasar yang kuat bagi pembangunan nasional dalam tahap-tahap berikutnya.

Pelita II berlamgsung pada tangggal 1 April 1974-31 Maret 1979. Pelita II menekankan pada peningkatan standar hidup bangsa Indonesia.Tujuan tersebut di wujudkan dengan menyediakan pangan,sandang,dan papan yang lebih baik; meningkatkan pemerataan kesejahteraan;dan menyediakan lapangan kerja.

Pelita III di mulai tanggal 1 April 1979-31 Maret 1989. Pelita ini menekankan pada sector pertanian untuk mencapai swasembada pangan dan pemantapan industri yang mengolah bahan dasar atau bahan baku menjadi bahan jadi. Pelita II meningkat 274% di banding pelita
sebelumnya. Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tinggal 26,9 %dari jumlah penduduk tahun 1980.

Pelita IV di mukai 1 April 1984-31 Maret 1989. Pelita ini menekankan pada sector pertanian untuk mempertahankan swasembada pangan sekaligus meningkatakan industri yang dapat memproduksi mesin-mesin untuk industri ringan maupun berat. Penduuduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tinggal 16,4% dari jumlah penduduk tahun 1987.

Pelita V di mulai tanggal 1 April 1989-31 Maret 1994. Pelita ini menekankan pada sector industri yang didukung oleh pertumbuhan yang mantap disector pertanian.

Pelita VI di mulai 1 April 1994-31 Maret 1999. Pelita VI maerupakan awal pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJPTII). Pada tahap ini bangsa Indonesia memasuki proses Tinggal Landas menuju Terwujudnya masyarakat maju, adil dan mandiri. Pelita VI menitikberatkan pada bidang ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Salah satu cara yang dilakukan oleh rezim Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya adalah dengan cara melakukan pembonzaian terhadap demokrasi. Akibatnya aspirasi rakyat menjadi terhambat dan partisipasi politik rakyat terbelenggu. Soeharto juga menumpukan kekuatan pada militer dengan mendasarkan pada dwifungsi ABRI/TNI. 6

Usaha pembonzaian dan pengamputasian demokrasi yang dilakukan semakin lama semakin menampakkan hasil. Kondisi yang bersifat statusquo dan pengekangan politik, akhirnya membuat rakyatpun mulai bangun dan bergerak untuk melakukan perlawanan dan pengoreksian.
Rancangan pembangunan yang dilakukan dari Repelita I sampai Repelita V dimaksudkan untuk menyiapkan era pra-lepas landas. Sehingga diharapkan pada Repelita VI masa lepas landas bisa dilaksanakan.

Namun naas tak bisa ditampik, malang tak bisa ditolak. Indonesia terserang krisis ekonomi tahun 1997 pada saat implementasi Repelita VI yang digaungkan sebagai era tinggal landas (take off). Akibat krisis ekonomi itu, gejolak politik memanas hingga menuntut Soeharto lengser dari jabatannya. Dan pada Mei 1998, Soeharto pun mundur seiring munculnya era baru, Reformasi. Akibat kejadian politik ini, tatanan bangunan rencana pembangunan Orde Baru dengan konsep Repelita dan PNJP pun terhenti. Konsep perkembangan yang di sebut telah tinggal landas, tak lagi menjadi gaung nasional. Beberapa kalangan percaya bahwa Indonesia kembali setahap ke belakang, yakni era tinggal landas.

Melihat kondisi ini, bangunan teori yang dikemukakan oleh Rostow sebetulnya berlaku secara relevan dalam kasus Indonesia. Seperti telah diutarakan sebelumnya, Rostow memandang bahwa evolusi perkembangan ekonomi akan melaju secara linier satu tahap ke tahap berikutnya apabila ada ketersediaan modal yang mencukupi. Padahal pada saat krisis melanda Indonesia pada 1997, devisa negara kita minus dibandingkan dengan nominal utang luar negeri. Ekonomi berjalan mundur. Banyak kredit macet sehingga memaksa bank-bank untuk melakukan merger. Inflasi melambung. Kurs mata uang kita merosot tajam hingga menembus di atas 10.000 per 1$. Kondisi ini merontokkan tatanan bangunan tahapan yang sudah dibanguns elama 25 tahun dan kita kembali berjalan mundur.

Pun halnya jika posisi Indonesia dilihat dari perspektif tahapan perkembangan politik Organsky. Ia mengatakan bahwa perkembangan politik akan bergerak linier dari tahap satu ke tahap berikutnya dengan linier dengan syarat adanya kestabilan politik. Namun akibat krisis ekonomi pada 1997 yang berefek domino pada kehidupan politik sehingga memanaskan situasi politik nasional, menyebabkan perkembangan Indonesia tak beranjak dari tahapan pertama, unifikasi primitif. Seperti kita tahu, hingga saat ini, Indonesia belum stabil betul dengan kesatuan negara dalam bingaki NKRI. Masih ada pemberontakan-pemberontakan daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia, seperti di Aceh yang dimotori oleh GAM, di Maluku yang dimotori oleh RMS dan di Papua yang di motori oleh Gerakan Papua Merdeka. Itu artinya, hingga saat ini, Indonesia masih berkutat dalam proses tahap pertama, unifikasi primitif. Padahal, banyak kalangan yang menyebutkan bahwa Indonesia telah masuk dalam periode Industrialisasi.

Akan tetapi, argumentasi di atas juga mengandung kelemahan. Karena indikator lain menunjukkan bahwa kita juga telah masuk pada fase industrialisasi seperti dikatakan Organski. Pada fase ini, pemerintahan berfungsi untuk mendorong tumbuhnya industri dan modernisasi ekonomi yang dilakukan salah satu dari tiga tipe ideologis di dalam negara: borjuis, stalinis, dan fasis. Di sini mulai terjadi peralihan kekuasan dari elite tradisional ke manajer industri, pemupukan modal untuk industri, dan migrasi penduduk dari desa (pinggiran) ke perkotaan. Indikator itu telah sangat nyata di Indonesia.

Dengan demikian, posisi Indonesia dalam kerangka tahapan perkembangan Rostow dan Organski belum bisa dikategorikan berada pada tahapan yang pasti. Dalam konteks tahapan perkembangan Organski, kita bisa dikatakan pada tahapan unifikasi primitif karena masih bergejolaknya pemberontakan daerah untuk melepaskan diri dari NKRI. Atau juga kita bisa dikategorkan masuk pada fase Industrialiasi dengan indikator yang telah disebutkan di atas.

Dalam perspektif Rostow, kita bisa dikategorikan masuk pada fase pra industrialisasi karena kita telah menyiapkan pondasi untuk masuk dunia industrialiasi. Disisi lain, kita juga bisa dikategorikan pada fase hight consumtion. Hal ini berdasarkan argumen bahwa ternyata produsen mobil BMW yang bisa dikategorikan sebagai mobil mewah, merilis data Indonesia merupakan pasar terbesar dalam penjualan produk mereka. Selain itu, mal-mal telah marak dipelbagai penjuru negeri. Penjualan bahan yang tahan lama, kendaraan bermotor misalnya, Indonesia merupakan pasar terbesar dunia. Oleh karena itu, sulit mengidentifikasi Indonesia berada pada tahapan mana dalam kerangka pertumbuhan Rostow.

Modernisasi dan demokratisasi dalam perspektif pembangunan politik merupakan suatu rangkaian yang tak dapat dipisahkan. Mengapa demikian, karena kedua makna tersebut sama-sama bermuara kepada upaya perbaikan dan perubahan situasi dari kurang menjadi yang lebih baik, secara politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Modernisasi merupakan suatu proses yang alamiah terjadi dalam perkembangan suatu negara. Modernisasi sering juga diartikan sebagai peroses perubahan dari masyarakat yang bercorak tradisional ke masyarakat Negara yang bercirikan modern. Negara tradisional biasanya sebagian besar masyarakatnya hidup dari sektor pertanian, berorientasi masa lalu, masyarakat agamis, gotong royong, statis, primitif, dan tertutup. Sedangkan ciri negara modern biasanya sebagian besar masyarakatnya hidup di sektor industri, Future Oriented, Sekuler, individual, dinamis, dan terbuka. Berbagai keunggulan dan manfaat serta didukung oleh tren perkembangan dunia, banyak negara dan hampir disemua negara melakukan proses modernisasi yang dicirikan dalam proses pembangunan disegala sektor, dan merubah corak tradisional negara ke bentuk modern lewat proses industrialisasi.

Lewat modernisasi pulalah kemudian diperkenalkan tahap-tahap pembangunan politik maupun ekonomi sebagai gerak perubahan yang gradual. Tahap-tahap ini bagi negara-negara berkembang yang dalam proses menuju negara modern seakan-akan harga mati untuk mencapai negara sejahtera. Mereka menganalogikan masyarakat sebagai makhluk organik, yang lahir, tumbuh berkembang menjadi dewasa, dan akhirnya mati. Mereka terlanjur menjadikan Barat sebagai model puncak modernitas dalam tahap-tahap pembangunan. Dalam makalah ini akan dicoba mengangkat tahapan-tahapan modernisasi politik dan demokratisasi yang menjadi suatu keharusan dalam perspektif pembangunan politik sejak bergulirnya reformasi

Pembangunan disegala sektor dalam upaya modernisasi juga terkait dengan pembangunan politik sebuah negara. Pembangunan politik biasanya terkait dengan peningkatan kualitas demokrasi, penguatan sistem politik dan pemerintahan, penguatan partai politik menjadi lebih mapan serta peningkatan partisipasi masyarakat. Tingginya partisipasi masyarakat merupakan cermin kuatnya demokrasi dan legitimasi pemerintah atas masyarakat, terlebih bila didukung oleh sistem politik dan partai politik yang bisa memfasilitasi partisipasi masyarakat dengan baik. Pembangunan politik menjadi penting terkait dengan modernisasi terlebih merupakan prasyarat kesejahteraan masyarakat.

Bangsa-bangsa di negeri-negeri yang sudah maju tumbuh dan berkembang melalui tahapan yang cukup sistematis, baik di bidang ekonomi maupun di bidang politik. Pada umumnya suatu bangsa tumbuh melalui tahap-tahap perkembangan politik.

Bangsa-bangsa di negeri-negeri yang sudah maju tumbuh dan berkembang melalui tahapan yang cukup sistematis, baik di bidang ekonomi maupun di bidang politik. Pada umumnya suatu bangsa tumbuh melalui tahap-tahap perkembangan politik.

Namun ada hal yang menarik bahwa ”unifikasi modern” juga menjadi tren dunia global saat ini, Uni Eropa European Union atau EU) adalah contoh jelas unifikasi modern sebuah organisasi antar-pemerintahan dan supra-nasional, yang terdiri dari negara-negara Eropa, yang sejak 1 Januari 2007 telah memiliki 27 negara anggota. Persatuan ini didirikan atas nama tersebut di bawah Perjanjian Uni Eropa (yang lebih dikenal dengan Perjanjian Maastricht) pada 1992.

Pembangunan politik kalau mengacu pada Teori Pentahapan Organzki idealnya berada pada tahap Walfare State atau tahap politik kesejahteraan nasional , kenapa? Kalau kita lihat sejarah mencatat bahwa kemajuan yang dialami oleh negara-negara barat tidak dimulai dengan pembangunan politik terlebih dahulu, tetapi dimulai dengan pembangunan ekonomi dan industrialisasi, dimana demokrasi terpinggirkan.

Pada tahap Unifikasi primitif dan Politik Industrialisasi, pemerintah nasional membutuhkan kestabilan di segala bidang termasuk di bidang politik, sehingga tidak dimungkinkan terjadinya pembangunan politik yang mengandung resiko instabilitas yang pada akhirnya menggangu proses pembangunan ekonomi lewat indstrialisasi.

Pada tahap kesejahteraan nasional adalah tahap yang pas pembangunan politik, kenapa ? karena telah terjadi saling ketergantungan timbal balik antara rakyat dan pemerintah dimana interaksi antara rakyat dan pemerintah saling membutuhakan. Pemerintah membutuhkan rakyat untuk bekerja dan berjuang membangun perekonomian dan rakyat membutuhkan pemerintah untuk melindungi mereka dari kemiskinan dan penindasan pengusaha industri. Pembangunan Politik akan berjalan dengan baik ketika rakyat dan pemerintah berada pada posisi sejajar dan saling membutuhkan.

Indonesia pada era orde baru adalah contoh dimana pembangunan ekonomi lewat indutrialisasi dalam Pembangunan jangka pendek dan jangka panjang dengan tahap-tahap Pelita (Pembangunan Lima Tahun) menjadi prioritas pemerintah. Sedangkan secara bersamaan mengekang pembangunan politik.

Secara nyata telah terjadi perbedaan Pembangunan Politik secara umum dari berbagai negara didunia, hal ini tidak terlepas dari perbedaan penyingkapan negara yang bersangkutan terhadap beberapa hal terkait aspek internal dan aspek eksternal. Aspek internal yang mempengaruhi perbedaan pembangunan politik suatu negara dengan negara lain adalah Moralitas dan Mentalitas Penguasa pemerintahan, tingkat ekonomi dan kemakmuran, latar belakang kolonial, sejarah berdirinya negara dan Sistem Pemerintahan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa moralitas dan mentalitas Penguasa Pemerintahan dalam hal ini tingkat korupsi membedakan kemajuan pembangunan politik suatu negara, Indonesia dan Singapura misalnya Lee Kuan Yew satu generasi dengan Suharto, sama-sama memerintah dengan corak otoriter, dan ini disadari sangat dibutuhkan dalam masa-masa awal berdirinya negara untuk membangun, tapi kita lihat sekarang pembangunan di kedua negara berbeda termasuk di bidang politik, Singapura tumbuh menjadi negara maju dan Indonesia masih bestatus sebagai negara berkembang bahkan menengah kebawah. Cina juga seperti itu walaupun pemerintahan otoriter dan dikuasai oleh partai komunis namun karena pemerintahannya konsisten dalam memerangi korupsi bahkan dengan hukuman mati, ekonomi cina tumbuh dan mensejahterakan rakyatnya.

Silahkan dibaca, direnungi dan dimanfaatkan sebaik mungkin,…di bajak juga boleh.salam..

Thomas Hobbes

Thomas Hobbes
Thomas Hobbes merupakan seorang pemikir politik yang lahir dan mengalami proses intelektual dalam keadaan sosial politik anarkis pada abad ke XVII. Sejak lahir sampai akhir hidupnya, terjadi perang sipil dan perang agama, konfrontasi antara raja dengan dewan rakyat terjadi tanpa henti-hentinya. Kekerasan kekejaman, dendam dan ketakutan akibat peperangan agama dan perang sipil di Inggris mewarnai kehidupan Thomas Hobbes. Riwayat kehidupan Thomas Hobbes, seperti, melukiskan dirinya sebagai saudara kembar rasa ketakutan. Thomas Hobbes dilahirkan dalam kondisi premature. Dengan rasa ketakutan semakin dekatnya Armada Spanyol ke kawasan Inggris, begitu mencekam perasaan ibunya. Ketakutan mencekam itulah yang memaksa Thomas Hobbes lahir ke dunia. Pada waktu ia lahir, Ratu Elisabeth I Sedang sibuk menaklutkan kelompok agama Katolik
Sebagaimana halnya dengan ilmuan lainnya, Hobbes hidup dalam era pergolakan. Ia sangat terkesan oleh tuntutan akan kekuasaan politik yang kuat untuk mengeluarkan tatanan yang ada dari pergolakan yang mengancam masyarakat sipil. Situasi yang demikian mengstimulus inspirasi Thomas Hobbes untuk merumuskan teori-teori politik yang relevan dengan kondisi zamannya. Pikiran-pikiran yang ditelorkan merupakan produk dan mewakili karakter pada zamannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa situasi kacau pada sisi lain titik balik munculnya berbagai karya yang monumental. Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah (state of nature), terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain (homo homini lupus), memua memangsa semua (bellum omnium contra omnes). Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam. Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat. Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people). Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Apa yang difikirkan Hobbes ini adalah negara yang mutlak yang dikenal Monarki Absolut. Dalam arti hak-hak individu sama sekali dikesampingkan sementara negara menjadi sangat mutlak dan tidak pernah salah. Negara berhak mutlak atas kebenaran dan kepatutan.
Pendahuluan
Sejak munculnya pemikiran yang membedakan watak alam sosial, dengan alam fisik, lebih dari 2500 tahun yang lalu, teori politik telah menarik para pemikir-pemikir dari segala zaman. Tidak ada bidang pengetahuan dan peradaban manusia yang tidak tersentuh oleh gairah pemikiran politik. Dimana pun konteksnya masyarakat manusia itu ada, dia selalu ada dalam masyarakat politik dengan jenisnya sendiri. Sedemikian dekatnya keseluruhan hidupnya terangkai ke dalam kompleksitas masyarakat, sehingga akan menjadi asing baginya jika manusia tidak menyelidiki apa yang berada di bawah pemikiran realitas sosial.
Manusia selalu bertanya tentang dirinya, lingkungannya, peranannya dalam alam, dan maksud serta tujuan eksistensinya. Seolah-olah mereka diarahkan oleh dorongan dalam diri mereka untuk mencari jawaban akan masalah-masalah dasar yang muncul dalam kehidupan manusia. Dari pencarian akan kebenaran yang ada tidak berakhir tetapi terus berkembang sehingga terbentuk gudang pemikiran yang menantang, menggugah dan mencerahkan pengetahuan dan pemahaman manusia. Dalam proses ini yang menempati kedudukan penting adalah pemikiran spekulatif tentang manusia sebagai komunitas masyarakat politik.
Apabila dirunut kebelakang, Paham-paham masyarakat politik sebetulnya sejak Aristoteles diperngaruhi oleh berbagai aliran yang satu sama lain berkaitan. Jadi pemikiran politik sejak zaman Yunani hingga Karl Marx di abad ke-19 merupakan pandangan modern tentang negara yang merupakan hasil dari perkembangan dialektis dari perdebatan. Pemikiran itu muncul sebagai reaksi dari zamannya.
Pemiikiran Thomas Hobbes merupakan karya menarik untuk dikaji, khususnya yang berkaitan metodologi yang dibangun, psikologi manusia, keadaan alamiah, hukum alam, kontrak sosial, negara dan kekuasaan. Untuk memahami pemikiranThomas Hobbes ini ada baiknya kita memahami konteks sosial-historis pemikiran tokoh ini. Sebagaimana pemikir yang pernah ada baik sebelum atau pada masanya, pemikiranThomas Hobbes merupakan sebuah respon intelektual dan refleksi kritisnya terhadap proses sosial dan sejarah kehidupannya.
Konteks Sosio-Historis : Sebuah Biografi Pemikiran
Perkembangan pemikiran manusia dapat dilihat emberionya sejak periode renaisans. Benih-benih filsafat yang ditanamkan sejak periode ini mulai tumbuh pada abad ke–17. Periode ini biasa disebut “abad genius”_meminjam istilah Schmabdt. Ciri khas yang menonjol periode ini, yakni pembebasan akal manusia dari belenggu otoritas abad pertengahan diiringi dengan semakin tumbuhnya keyakinan terhadap kemampuan manusia untuk memahami masalah-masalah alam semesta. Kemajuan terbesar yang dicapai ilmu alam menguatkan keyakinan bahwa terdapat keraturan alam bukan hanya dalam fisik tetapi juga dalam dunia sosial, dan terdapat hukum-hukum tentang perilaku manusia yang mempunyai kejelasan dan kepastian sebagaimana hukum-hukum alam.
Awal abad ke–17 berusaha menemukan metode yang tepat untuk mengkaji tatanan sosial dan politik dalam rasionalisme, suatu gerakan yang mencapai puncaknya selama jaman abad pencerahan abad ke–17. Dengan mengagumkan otonomi dan kemamadaian akal, teori-teori baru berpendapat bahwa pikiran manusia mampu menyimpulkan kebenaran-kebenaran sosial dari prinsip-prinsip aksiomatik tertentu dengan cara yang sama sebagaimansa matematika bisa merekonstruksi sistem teorema yang senuhnya rasional dari inferensi analitis. Awal mula kecenderungan ini terlihat pada pemikir-pemikir sebelumnya dan jelas dari pendekatan ini diberikan oleh Rene Descartes (1595-1650), pemikir Prancis berpendidikan Jesuit, yang disebut bapak rasionalismemodern, sedikit banyaknya telah mempengaruhi pemikiran Thomas Hobbes.
Thomas Hobbes merupakan seorang pemikir politik yang lahir dan mengalami proses intelektual dalam keadaan sosial politik anarkis pada abad ke XVII. Sejak lahir sampai akhir hidupnya, terjadi perang sipil dan perang agama, konfrontasi antara raja dengan dewan rakyat terjadi tanpa henti-hentinya. Kekerasan kekejaman, dendam dan ketakutan akibat peperangan agama dan perang sipil di Inggris mewarnai kehidupanThomas Hobbes.
Riwayat kehidupan Thomas Hobbes, seperti, melukiskan dirinya sebagai saudara kembar rasa ketakutan. Thomas Hobbes dilahirkan dalam kondisi premature. Dengan rasa ketakutan semakin dekatnya Armada Spanyol ke kawasan Inggris, begitu mencekam perasaan ibunya. Ketakutan mencekam itulah yang memaksaThomas Hobbes lahir ke dunia. Pada waktu ia lahir, Ratu Elisabeth I Sedang sibuk menaklutkan kelompok agama Katolik. Penganut agama ini ditindas dengan kekejaman. Terjadi pula penaklukan Irlandia dan Skotlandia yang menjadi bagian dari Inggris.
Thomas Hobbes, dibesarkan dan memperoleh pendidikan dari pamannya yang kaya raya. Ayahnya seorang pendeta yang berasal dari keluarga miskin sehingga ia menikmati pendidikan di Universitas Oxford atas biaya keuangan dari pamannya tersebut. Dari dunia pendidikan yang diperolehnya,Thomas Hobbes banyak mempelajari pemikiran Aristoteles dan pemikiran ilmuan lainnya.
Pengalaman pada usia muda, ia sempat menjadi guru keluarga bangsawan Earl of Devonshire yang membiayainya berkeliling sebagian negara Eropa. Sepanjang perjalanannya mengelilingi Eropa itulahThomas Hobbes berkenalan dengan tokoh pemikir dan ilmuan abad XVII. Para ilmuan tersebut adalah Galileo Galilie, W Hervey, Rene Descartes dan lain-lain. Para tokoh inilah yang banyak mempengaruhi bagaimana Thomas Hobbes memandang manusia dan prilakunya.
Selain para tokoh di atas, banyak peristiwa politik yang berbepengaruh terhadap pemikiran Thomas Hobbes. Dalam berbagai peristiwa besar terjadi pertentangan antara Geraja Anglikhan Resmi, kaum Puritan dan golongan Khatolik serta konfrontasi antara Raja dengan Parlemen. Semua peristiwa itu berlangsung ketika Thomas Hobbes menjelang dewasa. Setelah Thomas Hobbes menginjak tua, 1649, ia menyaksikan konflik antara Raja Charles dengan Parlemen yang berakhir denga kekalahan Raja. Dengan kekalahan tersebut raja dipenggal atas perintah Cromwell.
Peristiwa tersebut merupakan luka sejarah di Inggris yang membuat Thomas Hobbes terobsesi untuk mencari pemecahan masalah bagaimana perang dan konflik bisa dihindari dan terciptanya perdamaian yang hakiki. Melalui kajian serius terhadap persoalan sosial politik yang dihadapi Eropa, khususnya Inggris, Thomas Hobbes menyampaikan kesimpulan bahwa salah satu sebab terjadinya perang antar agama, perang sipil dan konflik-konflik sosial adalah karena lemahnya kekuasaan negara. Kekuasaan negara terbelah, tidak terpadu. Di Inggris misalnya, kekuasaan negara menjadi dua, pertama, kekuasaan raja dan kekuasaan parlemen. Kedua, perang akan dapat dihindari dan perdamaian akan tercipta bila kekuasaan negara mutlak, tidak terbagi-bagi.
Untuk menjawab masalah tersebut, Thomas Hobbes mempertanyakan berbagai bentuk realitas yang dihadapinya, bagaimana masyarakat dapat diatur sehingga konflik sosial dapat dihindari? Bagaimana sebenarnya hubunganantara negara, hukum, kekuasaan dan moralitas dalam kaitannya dengan menciptakan perdamaian dan menjauhi perang. Menghadapi kenyataan kontradiktif ketika dihadapkan pada masalah perang sipil maupun kaum agama,Thomas Hobbes terkejut sebab di satu pihak ia melihat Raja maupun kaun agama menegaskan bahwa perjuangan mereka didasarkan pada norma dan nilai-nilai agama yang sangat luhur. Buku-buku teks agama selalu mendeskripsikan nilai-nilai kebaikan dalam masyarakat. NamunThomas Hobbes, melihat dalam kenyataan yang terjadi justru kebalikannya.
Golongan agama muncul dalam sejarah sebagai aktor politik yang bengis dan kejam. Dalam diri mereka penuh dendam dan dengki kepada manusia lain. Fakta empiris menunjukkan golongan agama bukanlah manusia yang suci yang tidak dikendalikan oleh hawa nafsunya. Dari pengalaman itu,Thomas Hobbes menarik dua kesimpulan peristiwa tersebut. Pertama, menata masyarakat berdasarkan prinsip normatif seperti agama dan moralitas tidak mungkin. Menurut Thomas Hobbes prinsip-prinsip itu hanyalah kedok-kedok emosi dan nafsu-nafsu hewani yang paling rendah. Kedua, masyarakat bisa mewujudkan perdamaian hanya apabila mampu mengenyahkan nafsu-nafsu yang rendah. Damai bisa diciptakan bila manusia terbebas dari hawa nafsunya. Dari konsepsi ini pula muncul karya-karyaThomas Hobbes yang cermelang mewakili zamannya.
Thomas Hobbes, karyanya yang terkenal Leviathan, diterbitkan tahun 1661. Sebagaimana halnya dengan ilmuan lainnya, Hobbes hidup dalam era pergolakan. Ia sangat terkesan oleh tuntutan akan kekuasaan politik yang kuat untuk mengeluarkan tatanan yang ada dari pergolakan yang mengancam masyarakat sipil. Situasi yang demikian mengstimulus inspirasi Thomas Hobbes untuk merumuskan teori-teori politik yang relevan dengan kondisi zamannya. Pikiran-pikiran yang ditelorkan merupakan produk dan mewakili karakter pada zamannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa situasi kacau pada sisi lain titik balik munculnya berbagai karya yang monumental.
Metodologi
Menurut Thomas Hobbes bahwa teori negara harus didasarkan atas teori watak manusia. Terdapat dua cara pendekatan terhadap studi watak manusia; pertama dengang mengamati tindakan orang lain, kedua, dengan introspeksi.
Pendekatan empiris terhadap psikologi eksperimental terlihat dalam metode pertama, tetapi Thomas Hobbes sangat terpengaruh oleh jaman rasionalisme. Meskipun berusaha menemukan bagaimana manusia bereaksi terhadap lingkungannya dan merumuskan teori prilaku manusia, ia menggunakan tidak sama dengan metode psikologi modern. Bukan mengkaji banyak kasus-kasus individu, ia mencari kebenaran universal dengan studi yang cermat dengan mengambil contoh tunggal dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa ia memilih prosedur ini karena siapa saja yang melihat ke dalam dirinya sendiri, dan memahami apa yang dilakukan, ketika ia berpikir, berpendapat, menalar, berharap, takut, dan sebagainya, dan atas dasar apa ia lakukan tersebut. Ia akan membaca dan tahu, apakah pemikiran dan keinginan orang lain, dengan kajadian yang sama. Thomas Hobbes berpegang pada konsepsi alam yang mekanistik. Menurutnya, reaksi-reaksi manusia dari rangsangan yang timbul adalah serupa. Jadi dengan mengkaji dorongan dan tindakannya sendiri, ia sebenarnya mengkaji manusia secara umum. Ia membaca pada dirinya sendiri bukan pada manusia ini atau manusia itu yang tertentu, tetapi sebagai mangkind (umat manusia).
Berbicaran tentang metodologi, yang dimaksud Hobbe adalah cara paling tepat untuk menemukan efek-efek dari sebab-sebab dari efek-efek yang bisa diamati. Hobbes yakin bahwa adalah mungkin menciptakan teori manusia dan negara dengan kejelasan dan kepastian yang sama dengan hukum-hukum fisik alam semesta. Hobbes tidak hentinya mempertanyakan mengapa ilmuan sosial tidak bisa memberlakukan tindakan dan keinginan manusia sama seperti halnya ahli fisika memberlakukan berat dan kepadatan. Demikian pula ia menyadari bahwa pendekatan semacam ini mengandalkan psikologi mekanistik yang satu sisi menolak kebebasan kehendak dan di sisi lain menyatakan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh kesan yang ditangkap indranya dan oleh respon otomatisnya pada kesan-kesan tersebut. Hobbes juga melihat bahwa ilmu eksakta perilaku manusia, juga ilmu eksakta politik, hanyalah mungkin jika upaya tersebut bisa direduksi pada partikel-partikel material yang bergerak dengan hukum-hukum fisik tertentu. Untuk menguatkan pendapatnya, ia menunjukkan bahwa prinsip-prinsip tentang sebab akibat mekanis bisa diterapkan pada semua fenomena, termasuk pikiran dan kehendak manusia.
Psikologi Manusia
Pemikiran Hobbes dalam karyanya Leviathan dimulai dengan judul Of Man, berisi tentang psikologi manusia. Hobbe sadar bahwa teori negara harus didasarkan atas teori watak manusia. Dalam membangun psikologi umumnya, Hobes mendeskripsikan keinginan manusia dan etika dari segi gerakan. Berpegang pada pandangannya bahwa yang riil hanyalah tubuh dan gerakannya, ia menyatakan bahwa perasaan harus mencakup gerakan partikel-partikel. Obyek-obyek eksternal menekan organ-organ indra dan menimbulkan gerakan yang terus bergerak ke dalam sampai ia mencapai pusat organ otak. Disini terjadi reaksi terhadap gerakan yang menimbulkan upaya atau tindakan keluar pada subyek yang sadar menuju obyek yang ditangkap
Hobbes juga merasumsi bahwa manusia secara alamiah bergerak menuju obyek-obyek tertentu dan menjauhkan dari obyek-oyek lain. Pertama adalah obyek keinginan, dan kedua adalah obyek yang tidak diinginkan. Obyek-obyek yang diinginkan adalah baik, sedangkan obyek-obyek yang tidak diinginkan adalah tidak baik . Demikian pula, menurut Hobbes bahwa kamampuan manusia relatif sama untuk mencapai tujuan-tujuan mereka . Alam menakdirkan manusia sama, dalam kemampuan tubuh dan akal, meskipun terdapat orang yang mempunyai tubuh yang lebih kuat, atau pikiran yang lebih cerdas dibandingkan yang lain, tetapi jika itu dinilai secara keseluruhan perbedaan itu tidak nampak begitu besar, sehingga orang bisa mengambil keuntungan bagi dirinya.
Pada akhirnya Hobbes menganggap bahwa manusia secara alamiah dan pada dasarnya mementingkan diri sendiri, suka bertengkar, haus kekuasaan, kejam, dan jahat. Karakter ini adalah hasil upaya manusia yang ingin terus menambah kebutuhannya, karena dengan memuhi kebutuhannya manusia akan bahagia. Akan tetapi obyek keinginan manusia tidak hanya untuk dinikmati sekali saja, tetapi juga menjamin keinginan untuk masa depan selamanya. Oleh karena itu manusia memerlukan kekuasaan untuk mencapai tujuan hidupnya.
Keadaan Alamiah (State of Nature)
Berawal dari premis-premis psikologi yang dibangunnya, Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa keadaan normal manusia adalah keadaan konflik terus menerus, perasaan yang brutal dalam meraih kedudukan dan kekuasaan Keadaan alamiah pra-politik ini, individu mementingkan diri sendiri menemukan dirinya dalam suatu dunia bersama orang lain yang mempunyai motivasi yang sama dan juga berusaha mengejar kepuasan mereka. Dengan demikian jika ada orang memiliki keinginan yang sama mereka menjadi musuh, dan dalam upya mencapai tujuannya mereka berusaha mencegah setiap orang mencapai tujuan dan mengalahkan satu sama lainnya. Akibatnya terjadi konflik terus menerus karena kesamaan dasar manusia mencegah setiap orang dari mendapat kedudukan lebih tinggi yang bersifat tetap terhadap orang lain. Dalam keadaan alamiah ini, yang oleh Hobbes dijadikan gambaran dari hubungan antara manusia ketika tidak ada kekuasaan politik yang berdaulat, tidak ada hukum legal atau moral yang mengatur tindakan manusia. Tidak ada prinsip benar atau salah ataupun keadilan atau ketidakadilan yang berlaku karena tidak ada standar tingkah laku yang obyketif.
Dengan memahami watak manusia yang digambarkan Hobbes tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kondisi masyarakat yang tidak toleran tanpa kedaulatan politik serta kekuasaan penekannya. Kehidupan manusia berdasarkan keadaan alaminya bersifat miskin, terpencil, penuh bahaya, dan brutal.
Hukum Alam
Setelah menjelaskan kondisi manusia yang tidak menentu dalam keadaan alamiahnya, Hobbes menerapkan filsafat mekaniknya untuk melahirkan mosi tandingan yang akan mendorong menusia untuk masuk ke dalam masyarakat politk . Perasaan yang paling kuat manusia adalah perasaan takut akan kematian dan hal ini diikuti keinginan untuk hidup lebih leluasa. Dengan perasaan ini mendorang manusia untuk mecari perdamaian, karena perang merupakan ancaman kehidupan serta kepemilikan materi individu. Perasaan ini mendorong manusia pada perdamaian yang memadai, di mana manusia bisa sampai persetujuan. Piranti ini dapat disebut hukum alam. Hukum alam sebagaiman didefiniskan oleh Thomas Hobbes adalah ketetapan atau peraturan umum, ditemukan oleh akal, yang dengannya akal itu manusia dilarang melakukan yang dapat merusak kehidupan, atau merampas sarana kelangsungan hidup orang lain.
Manusia mempunyai hak alamiah untuk mencari apa saja yang akan memuaskan keinginannya. Thomas Hobbes berpendapat bahwa tiap-tiap orang bertindak untuk menyelamatkan apa saja yang dianggapnya sebagai kebaikan tertinggi dan menghindari bahaya yang ada pada waktu ia bertindak. Tetapi sejauh ini karena hak alamiah bagi semua orang tetap ada, maka tidak ada rasa aman bagi setiap orang untuk hidup dalam perjalanan masa yang sebelumnya disediakan oleh alam kepada manusia. Berdasarkan konsepsi ini, akallah yang mendikte bahwa manusia harus mencari perdamaian dan mengikutinya. Dari hukum ini diturunkan hukum kedua yang menetapkan bahwa manusia akan bersedia, ketika orang lain juga demikian.
Hukum alam Thomas Hobbes hanyalah seperangkat prinsip-prinsip materialistik bagi pengembangan masyarakat yang aktif yang berasal dario tindakan dan interaksi individu-individu. Dengan kata lain, ia adalah kumpulan aturan atau petuah tentang kebijaksanaan sehingg diharapkan manusia mampu mengatasi ketakuktan akan kematian dan menikmati kehidupan yang menyenangkan. Kelemahan pemikiran ini, menolak setiap uji transendental tentang kebaikan dan keburukan. Obyek apapun yang diinginkan adalah baik dan yang dibencinya adalah buruk. Ukuran kebaikan dan keburukan adalah murni suyektif, karena perkataan baik, jahat dan tercela selalu digunakan dalam kaitannya dengan orang yang menggunakannya. Sementara itu tidak ada pedoman umum tentang yang baik dan buruk, yang berasal dari sifa obyek-obyek itu sendiri.
Kontrak Sosial
Karena individu cenderung mencari perdamaian bagi kelangsungan dirinya dan karena akal menetapkan bahwa kehidupan yang teratur mungkin selama masih berlangsung keadaan alamiah, jelas manusia harus menemukan cara-cara yang bisa melepaskan mereka dari kondisi primitifnya. Menurut ajaran kedua hukum alam Hobbes manusia bisa menjamin penjagaan diri mereka hanya mereka bersedia membuat perjanjian dengan orang lain dengan menghapuskan hak alamiah absolut mereka pada semua hal.
Akan tetapi Hobbe tetap berasumsi bahwa manusia tidak dapat dipercaya karena memiliki kaadaan alamiah yang menyimpang. Oleh karena itu dia kembali
Hobes lagi
Pengantar
Ada empat teori tentang terbentuknya negara, yaitu teori alamiah, teori ciptaan Tuhan, teori kekuatan, dan teori kontrak sosial. Masing-masing teori itu juga memberikan penjelasan tentang di mana sumber kewenangan politik.
Teori alamiah menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena kebutuhan manusia untuk aktualisasi kemanusiaannya. Negara adalah wadah tertinggi untuk aktualisasi manusia. Selain negara, dua wadah lain yang tingkatnya lebih rendah adalah keluarga dan desa. Di dalam keluarga, manusia mengakutalisasikan diri di bidang fisik, karena keluarga menyediakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik manusia. Di dalam desa, manusia mengaktualisasi diri di bidang sosial, karena desa menyediakan pemenuhan hasrat untuk berkawan dan bermasyarakat.
Di dalam negara, manusia mengaktualisasikan diri di bidang moral dan politik untuk menjadi manusia sepenuhnya karena manusia mampu mengaktualisasikan hasrat moral dan politik yang tidak bisa terpenuhi di dalam wadah keluarga dan desa. Oleh karena itu manusia bisa sempurna hanya bila mereka berperan dalam negara.
Teori ciptan Tuhan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena diciptakan oleh Tuhan. Penguasa atau pemerintah suatu negara ditunjuk atau ditentukan oleh Tuhan, sehingga walau pun penguasa atau pemerintah mempunyai kewenangan, sumber kewenangan tetap adalah Tuhan. Oleh karena sumber kewenangan adalah Tuhan, penguasa atau pemerintah bertanggungjawab kepada Tuhan, bukan kepada rakyat yang dikuasai atau diperintah.
Teori kekuatan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena hasil penaklukan dan kekerasan antarmanusia. Yang kuat dan mampu menguasai yang lain membentuk negara dan memaksakan haknya untuk menguasai dan memerintah negara. Sumber kewenangan dalam teori ini adalah kekuatan itu sendiri, karena kekuatan itu yang membenarkan kekuasaan dan kewenangan.
Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam teori ini, sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri.
Secara garis besar dan untuk keperluan analisis, keempat teori itu seolah-olah berdiri sendiri secara tegar. Akan tetapi bila dilihat lebih seksama, di dalam masing-masing teori itu terdapat nuansa-nuansa perbedaan penjelasan dan argumentasi, terutama pada pengoperasian kewenangan. Bahkan, dari variasi argumentasi itu sering muncul argumentasi yang bisa menjadi pendukung atau inspirasi dari teori lain. Teori ciptaan Tuhan, misalnya, mengandung variasi pemikiran tentang pengoperasian kewenangan.
Kongfucu, misalnya, menyatakan bahwa Tuhan memberi mandat (the mandate of heaven) kepada raja untuk memerintah rakyatnya. Apabila raja dianggap tidak memerintah dengan baik, maka mandat itu dicabut oleh Tuhan. Tetapi bagaimana dan kapan mandat harus dicabut, rakyatlah yang mengetahui dengan melihat gejala-gejala alam, seperti adanya bencana banjir, gempa bumi, kelaparan dan sebagainya. Walau pun secara prinsip Tuhan sumber kewenangan, tampak pula bahwa akhirnya manusia (baca: rakyat) yang secara praktis mengoperasikannya.
Thomas Aquinas, misalnya pula, mengembangkan pemikiran tentang principium (prinsip), modus (cara) dan exercitium (pelaksanaan) dari kewenangan. Aquinas secara tegas menyatakan bahwa pada prinsipnya kewenangan bersumber pada Tuhan, bahwa cara kewenangan dioperasikan ditentukan oleh manusia, dan bahwa pelaksanaannya pun dilakukan oleh manusia.
Dari pemikiran Konfucu dan Aquinas tadi sebenarnya tampak benih-benih atau dasar-dasar bagi perkembangan teori kontrak sosial.
Tulisan ini hanya membahas nuansa-nuansa dalam teori kontrak sosial. Bahasan tentang teori kontrak sosial ini pun dibatasi pada tiga karya pemikir utamanya, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau. Untuk menjamah segi praktisnya, tulisan ini juga diakhiri dengan pembahasan hipotetis tentang pengaruh-pengaruh masing-masing segi pemikiran dalam pola-pola kehidupan bernegara, baik kalangan pemerintah mau pun masyarakat biasa.
Teori Kontrak Sosial
Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Jaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Jaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas jaman sebelumnya, yaitu Jaman Pertengahan. Walau pun begitu, pemikiran-pemikiran yang muncul di Jaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada Jaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir jaman-jaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas adalah bahwa pada Jaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang, kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun (apalagi!) di dalam praksisnya.
Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latarbelakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber utama perang saudara.
Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih muda daripada Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik; bahwa Locke mendapat pengaruh dari semangat liberalisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu; dan bahwa Locke mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja.
Sedangkan Rousseau (1712-1778) hidup dalam abad berbeda dan negara berbeda pula. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Rousseau berasal dari kalangan biasa yang merasakan kesewenang-wenangan kerajaan; dan bahwa Rousseau mengilhami dan terlibat dalam Revolusi Perancis.
Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
Kontrak Sosial: Hobbes
Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Mengenai semua hal di atas, Hobbes menulis sebagai berikut:
“So that in the first place, I put for a generall inclination of all mankind, a perpetuall and restlesse desire of Power after power, that ceaseth in Death. And the cause of this, is not intensive delight, than he has already attained to; or that he cannot with a moderate power: but because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, without the acquisition of more.” [Thomas Hobbes, Leviathan, Harmandsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd., 1651, cetak ulang tahun 1983, h. 161.]
Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam.
Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat.
Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people) [Hobbes: hal. 376]. Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah.
Kontrak Sosial: Locke
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). [John Locke, “An Essay Concerning the True Original, Extent and End of Civil Government,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 84.]
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.
Kontrak Sosial: Rousseau
Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought). [Jean Jacques Rousseau, “The Social Contract,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 193-194.]
Kehendak umum (volonte generale) menciptakan negara yang memungkinkan manusia menikmati kebebasan yang lebih baik daripada kebebasan yang mungkin didapat dalam kondisi alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga apabila ada orang yang tidak setuju dengan kehendak umum itu maka perlulah ia dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu.
Rousseau mengajukan argumentasi yang sulit dimengerti ketika sampai pada pengoperasian kewenangan dari kehendak umum ke pemerintah. Pada dasarnya Rousseau menjelaskan bahwa yang memerintah adalah kehendak umum dengan menggunakan lembaga legislatif, yang membawahi lembaga eksekutif. Walau demikian Rousseau sebenarnya menekankan pentingnya demokrasi primer (langsung), tanpa perwakilan, dan tanpa perantaraan partai-partai politik. Dengan demikian masyarakat, lewat kehendak umum, bisa secara total memerintah negara. [Rousseau: 231-2.]
Jadi jelas, walaupun sulit dipahami, argumentasi pengoperasian kewenangannya, Rousseau mengembangkan semangat totaliter pihak rakyat dalam kekuasaan.
Penutup
Sumbangan pemikiran-pemikiran Hobbes, Locke dan Rousseau di atas bisa membantu analisis terhadap kehidupan dan perilaku politik, baik pihak pemerintah maupun pihak rakyat yang diperintah. Dalam praktik kehidupan perilaku politik, masing-masing sumbangan pemikiran itu sering mewarnai kehidupan dan perilaku politik.
Amerika Serikat, misalnya, walaupun secara tegas mengoper teori kontrak sosial dari Locke, akan tetapi tidak jarang praktik-praktik politik pemerintahnya diwarnai oleh teori kontrak sosial dari Hobbes dan Rousseau. Teori Hobbes yang mengandung dasar-dasar teori kekuasaan prerogatif, paling tidak telah mewarnai tindakan-tindakan Presiden Abraham Lincoln, Woodrow Wilson, Franklin Delano Roosevelt, dan Richard Nixon.
Lincoln, Wilson dan Roosevelt bahkan berhasil menikmati praktik-praktik politik yang lebih dekat dengan teori Hobbes daripada teori Locke karena keadaan darurat (Perang Saudara, Perang Dunia I, dan Perang Dunia II) memang memberi peluang “Leviathan memanfaatkan hak prerogatifnya.” Nixon, sebaliknya, harus kalah karena ia memamerkan praksis teori Hobbes pada saat masyarakat sedang menggandrungi praksis teori Rousseau. [Basis Susilo, “The Constitutional Role of the US President in Foreign Policy,” makalah 1985, tidak diterbitkan.]
Walaupun teori kontrak sosial mendasari pemikiran politik suatu masyarakat, akan tetapi dinamika kehidupan dan perilaku masing-masing harus dibedakan apakah yang mewarnai Hobbes, Locke atau Rousseau. Apabila yang lebih mewarnai adalah Hobbes, maka kehidupan dan praktik perilaku politik rakyat hanya ditandai dengan kewajiban untuk taat dan tunduk pada penguasa, sementara penguasa akan merasa leluasa untuk bertindak tanpa memperhatikan aspirasi dan tuntutan politik dari rakyatnya.
Apabila yang lebih mewarnai adalah teori kontrak sosial dari Locke, maka kehidupan dan perilaku politik masyarakat tentu mengandung ciri-ciri tertentu, seperti pemerintah berhati-hati dalam melakukan tugas-tugasnya, parlemen amat vokal dalam mengontrol dan berperan dalam politik, dan masyarakat tidak segan-segan untuk melakukan kritik-kritik.
Upaya untuk memahami dan menjelaskan kehidupan dan perilaku politik atau kebudayaan politik suatu entitas tertentu dapat menggunakan pola-pola pemikiran politik untuk dijadikan salah satu pokok analisis. Konsep-konsep dasar tentang sumber kewenangan dan pengoperasian yang mana yang berada di benak suatu masyarakat, atau yang “mengalir di dalam darah” masyarakat itu? Apakah teori kontrak sosial, atau bukan? Apabila teori kontrak sosial, yang mana? Dari Hobbes, Locke, Rousseau, Hume, atau lainnya?
Pemanfaatan analisis tentang bekerjanya teori-teori tentang asal negara dan sumber kewenangan untuk menjelaskan kehidupan, perilaku, atau kebudayaan politik sampai saat ini belum dikembangkan. Barangkali, ada kesulitan untuk mengukur bekerjanya teori-teori asal-mula negara dan sumber kewenangan di dalam suatu masyarakat, karena sifatnya yang amat abstrak.
Akan tetapi, bila mulai dicoba, tentu ada cara untuk mengukur bekerjanya teori itu dalam praksis kemasyarakatan. Salah satu cara yang mumngkin bisa digunakan adalah dengan mengkaji isi pesan-pesan dan semangat di dalam literatur-literatur atau cerita-cerita yang digemari masyarakat, seperti yang dilakukan oleh David C. McClelland ketika mencari nAch pelbagai masyarakat.
[I Basis Susilo]
* Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik terbitan FISIP Unair, Tahun II, No 2, Triwulan 1, 1988.

Thomas Hobbes
(Individualisme Instrumental )
1. Landasan Teori
Rasio, bagi Hobbes, lebih daripada sebuah instrumen untuk memungkinkan individu untuk menemukan cara memperoleh dan mempertahankan apa yang ia inginkan. Hobbes menganggap masyarakat dan tatanan politis dan tempat masyarakat itu bergantung sebagai kondisi-kondisi yang secara intrinsik tidak menyenangkan tapi yang bagaimanapun perlu untuk kelangsungan hidup, piranti-piranti yang menyedihkan dari makhluk-makhluk egois yang terkejut panik yang tak bisa menemukan jalan lain untuk menghindari destruksi timbal-balik.

2. Pendekatan Hobbes
Pandangan Hobbes bersifat Deskriptif dan preskriptif yang anjurannya lebih menyeluruh dan dogmatis.Ia kadang-kadang mulai dengan menyatakan aksioma-aksiomanya atau definisi-definisnya dan kemudian menggabungkannya untuk menurunkan kebenaran-kebenaran baru tentang dunia. Di lain waktu dia mulai dengan pengamatan atas fenomena dan kembali pada proposisi-proposisi primer yang darinya fenomena ini dapat dideduksikan dengan proses sintetis.

3. Teori Hobbes tentang Manusia
Menurtu Hobbes, manusia adalah sebuah mesin anti-sosial. Ke dalam mesin ini lewatlah masukan-masukan dari lingkungan melalui pancaindera. Masukan-masukan ini menghasilkan reaksi-reaksi fisik internal.

4. Teori Hobbes tentang Masyarakat
Berdasar pada analisisnya tentang kodrat manusia, Hobbes merumuskan masyarakt sebagai sebuah persekutuan yang terbentuk atas dasar “kontrak sosial” yang digunakan sebagai peranti untuk bertindak menurut keinginan istrumental akan hubungan-hubungan yang damai karena mereka yang ada di dalamnya memiliki jaminan keuntungan-keuntungan yang diinginkan dan atas dasar dorongan hasrat ketergantungan manusiawi.

5. Implikasi-Implikasi Praktis
Hobbes menuliskan teori sosial dan politisnya dalam sebuah kisah mengenai masa silam yang jauh dan memusatkan perhatian kita pada gagasan mengenai sebuah kontra historis, tetapi dalam kenyataan pemakaian pandangannya ini jauh lebih preskriptif daripada deskriptif. Imlikasi yang jelas dari teorinya adalah bahw, dari mana pun asal-usul pemerintahan despotis yang aktual, manusia memiliki alasan yang baik untuk mendukungnya sekarang.

6. Kritik dan Penilaian terhadap Hobbes
Dalil-dalil psikologi Hobbes terlalu sederhana dan secara tidak memadai disokong denan bukti empiris, khsusnya kalau dalil-dalil itu diklaim sebagai kebenaran-kebenaran universal mengenai semua manusia. Kontrak sosial Hobbes lebih radikal, yaitu kemasukakalan seluruh gagasannya diragukan. Singkatnya Hobbes tidak membebaskan dirinya sendiri dari pengandaian Aristotelian bahwa mungkinlah memberi sebuah definisi atau deskripsi mengenai kodrat hakiki manusia dan membangun sebuah teori sosial di atasnya.

Negeri Badut

Negeri Badut
By .Gober Syailendra

Todong Menodong dalam lingkaran
Komedi badut-badut
Tuduh menuduh dalam pusaran
Komedi badut badut

Disana tertawa
Disini menyanyi
Disana teriak
Disini sembunyi

Todong menodong dalam permainan
Komedi badut badut
Tutup menutup dalam persidangan
Komedi badut kentut

Disana bersolek
Disini sok bersih
Disana merampok
Disini sok suci

Komedi negeri badut
Kebanyakan pemimpinya
Ngomong kayak kentut

Dasar badut, tetap badut…
Salah-pun tetap lucu, gilapun tetap badut

badut

Partisipasi Politik Militer Studi Perbandingan Partisipasi Politik Di Zaman Orde Baru dengan Era Reformasi

Partisipasi Politik Militer
Studi Perbandingan Partisipasi Politik Di Zaman Orde Baru dengan Era Reformasi
Oleh : Ainul Yaqin

A. Latarbelakang
Pemerintahan orde baru di bawah kendali Soeharto menempatkan militer pada tempat spesial baik atas dasar ikatan psikologis ataupun keyakinan atas militer sebagai motor pembangunan dan penilaian atas ketidakmampuan pemerintahan sipil. Salah satu keistimewaan yang diberikan kepada militer adalah menempatkanya pada posisi strategis pemerintahan, legislatif ataupun posisi strategis Golkar. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan sepertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer Pada tingkat bupati dan walikota, 56 persen adalah militer, direktur jenderal 70 persen, dan sekretaris menteri 84 persen diduduki oleh militer. Sementara itu data yang lebih lengkap di ungkapkan oleh Jenkins pada tahun 1977 dan 1980 terkait dengan dominasi militer yang bertugas diluar Hankam.
Pada tahun 1966 dari 27 anggota kabinet yang diangkat 44 persen menteri merupakan anggota ABRI, 6 berasal dari TNI AD dan 6 menteri lainnya berasal dari panglima-panglima angkatan lain. Pada tahun 1968 komposisi anggota ABRI yang duduk dikabinet berubah atau turun menjadi 23 orang. Keterlibatan militer dalam birokrasi lokal selain melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer melalui Muspida dan Muspika yang berfungsi mengendalikan kehidupan masyarakat daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilihan Umum.
Penetrasi dan penguasaan militer atas birokrasi pada masa orde baru dapat dilihat pula dalam penelitiannya MacDougall , tahun 1982 menggambarkan bahwa presentase pejabat militer lebih dominan dibanding sipil dalam jajaran birokrasi pusat tertinggi dengan menganatomi personalia tertinggi seluruh departemen yang ada dari mulai Menteri Koordinasi (Menko) sampai dengan Direktur Jenderal (Dirjen), MacDougall juga menemukan fakta bahwa pada departemen-departemen strategis jumlah militer sangat dominan dibandingkan sipil. Penelitian MacDougall 4 tahun kemudian (1986), setelah kabinet berganti ditahun 1983, memperlihatkan tidak terjadi perubahan signifikan perimbangan militer-sipil didalam birokrasi pusat tertinggi. Militer mengisi 64 persen jabatan pembantu dekat Presiden, 38 persen Menteri, 67 persen Sekretaris Jenderal, 67 persen Inspektur Jenderal, dan 20 persen Direktur Jenderal.
ABRI juga berada di lembaga legislatif sampai dengan tahun 2004 melalui mekanisme pengangkatan. Para perwira membentuk fraksi ABRI di MPR, DPR, DPRD Tk I dan DPRD Tk II, menjalankan fungsi penting seperti menempatkan aspek keamanan dan pertahanan dalam setiap perdebatan UU, memperjuangkan kebijakan sosial-politik yang berasal dari Panglima ABRI. Seringkali kantor anggota Fraksi ABRI di sebuah wilayah konstituensi menjadi pusat penyelesaian sejumlah persoalan lokal yang tidak bisa dilakukan melalui badan legislatif setempat. Keberadaan fraksi ABRI dimulai pada dekade 1965-1969 atau zaman DPR-GR sebanyak 43 orang, dekade 1970-1979 ABRI memiliki wakil diDPR/MPR sebanyak 75 orang. Dekade 1980-1989 jumlahnya meningkat menjadi 100 orang.
Dekade 1990-1998 jumlahnya turun kembali menjadi 75 orang. Pada 1 februari 1999 disahkannya UU No.4 tahun 1999 mengurangi perwakilan militer dari 75 kursi menjadi 35 kursi baik di DPR ataupun MPR serta membatasi keberadaan ABRI 10 persen di DPRD I dan II. Melalui sidang MPR Oktober 1999 Keberadaan anggota F-ABRI dihapuskan di DPR dan hanya ada di MPR sebanyak 38 wakil sampai dengan tahun 2004. Berakhirnya keberadaan ABRI di MPR dengan disahkannya UU No.22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Sejak pemilu 1971, ABRI juga memiliki perwakilan ditingkat DPRD I atau II dengan jumlah yang variatif.
Dominasi militer juga terjadi pada struktur Golkar, kondisi ini bisa dipahami dikarenakan Golkar adalah partai bentukan militer yang dibuat untuk ikut dalam Pemilu untuk mendapatkan legitimasi rakyat atas pemerintahan orde baru. Hubungan Golkar-militer cukup dimanis, dimulai dari dominasi militer didalam tubuh Sekber Golkar. Ketua Sekber Golkar di Dati I pada umumnya dijabat purnawirawan ABRI dan banyak pula yang masih aktif. Ketua Sekber Dati II hampir semuanya dijabat anggota ABRI aktif. Pada Munas 1 Golkar di surabaya, 4-9 September 1973, ABRI menempatkan perwira aktif kedalam struktur DPP dan hampir seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Pada Munas II Golkar, militer memperkuat dominasinya dengan dibentuknya Dewan Pimpinan Harian yang diketuai oleh Jenderal M. Panggabean. Pada munas II ini dipilihnysa Soeharto sebagai ketua Dewan Pembina yang mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pengurus DPP . Pada Munas III komposisi DPP Golkar untuk pertama kalinya didominasi kalangan sipil, hampir tidak ada kalangan militer aktif yang duduk dalam jajaran kepengurusan. Kondisi ini menimbulkan multi tafsir ada yang melihat pada kenyataannya, para pemimpin muda Golkar yang berasal dari kalangan sipil hanya dimanfaatkan oleh para tokoh tua untuk melaksanakan keputusan-keputusannya.
Ada yang melihat bahwa hilangnya perwira aktif dalam jajaran kepengurusan Golkar merupakan upaya ABRI untuk mulai ”menyapih” Golkar. Pada Pemilu 1992 militer kembali dipimpin tokoh militer (Wahono), akan tetapi pada pemilu ini banyak purnawirawan ABRI yang menyebrang ke PDI. Dominasi militer mulai memudar pada Munaslub Oktober 1998 dimana Akbar Tandjung terpilih sebagai ketua umum mengalahkan Eddy Sudrajat. Hubungan ABRI dengan Golkar terputus dengan dikeluarkannya 17 butir langkah-langkah perubahan dasar ABRI pada tahun 1999. pada poin ke -11 ditegaskan bahwa dilakukan pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada.
Ada dua hal yang menarik dalam dominasi perpolitikan di Indonesia pada masa orde baru. Pertama, adanya tren penurunan dominasi militer tiap repelita. Anggota ABRI yang menduduki jabatan Gubernur misalnya; pada Pelita I sebesar 73 persen, pada Pelita II sebesar 76,9 persen, pada Pelita III sebesar 59,2 persen, pada pelita IV sebesar 51,8 persen, pada pelita V hanya tinggal 44,4 persen. Tren yang sama terjadi pada komposisi anggota Kebinet Pembangunan. jika dalam tiga Pelita pertama, rata-rata 31,2 persen anggota kabinet adalah ABRI aktif, maka dalam tiga Pelita terakhir rata-rata hanya 9,6 persen anggota kabinetnya yang berasal dari ABRI aktif. Tren ini dapat ditemukan pula dalam komposisi sipil-militer pejabat asisten menteri, duta besar, bupati dan jabatan-jabatan ekesekutif lainnya.
Kecendurungan ini memperlihatkan 2 (dua) hal; pertama, Eep Saefullah Fatah melihatnya sebagai sebuah skenario dari Soeharto dan ABRI yang menjelmakan diri menjadi kekuatan prodemokrasi dan penghela perubahan politik dengan mengurangi porsi militer dalam kedudukan politik. ABRI yang semakin dewasa terlihat pula pada sikap menjaga jarak dari semua partai pada pemilu 1992. Keterlibatan ABRI dalam kasus pelanggaran pemilu hanya 4,6 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan birokrasi pemerintahan 29 persen dan badan-badan penyelenggara pemilu 60,6 persen. Pendapat ini bisa dipahami dengan melihat pandangan Eric A Nordlinger terkait tingkat campur tangan militer dalam sebuah negara. Keterlibatan militer dalam banyak negara kondisinya mayoritas hanya sebatas ” Moderator Pretorian ” atau ” Pengawal Pretorian ” jarang yang menjadi ” Penguasa Pretorian” . Pada jenis ” Moderator Pretorian”, militer menggunakan hak veto atas keputusan pemerintahan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. ”Pengawal Pretorian”, militer menggulingkan sebuah pemerintahan sipil, umumnya mereka sendiri yang akan memegang tampuk pemerintahan untuk periode tertentu. Pada posisi ini militer mempertahakan status quo sebagai keadaan terwujud sebelum kegagalan sipil, militer juga akan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan menangkal inflasi yang membumbung, anggaran belanja yang berlebihan, neraca pembayaran yang defisit yang terjadi pada pemerintahan sipil.
Militer bersifat otoriter akan tetapi tidak menghapus partai politik, pergerakan kelompok, surat kabar, dan serikat pekerja secara keseluruhan, akan tetapi membolehkan sebagian dengan batasan atau kontrol yang ketat. Walaupun ciri-ciri ”Pengawal Pretorian” terdapat pada pemerintahan militer Orde Baru, akan tetapi masih berat menyakini militer Indonesia mempunyai rencana untuk menarik diri dari dominasi politik indonesia. Sebab, semakin pudarnya peran politik militer pada orde reformasi lebih dikarenakan desakan masyarakat untuk menghapus konsep dwi fungsi ABRI, ketimbang insiatif militer atas dasar kerelaan.

B. Pokok Permasalahan
Thailand dan Indonesia mengambil langkah yang berbeda untuk mengakhiri dominasi militer atas dunia politik mereka. Di Thailand, peran politis militer mengalami penurunan secara gradual sejak tahun 1973, sedangka di Indonesia pengurangan politik militer terjadi akibat jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Kemungkinan yang kedua, tren penurunan dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia, lebih diakibatkankan adanya konflik yang terjadi diantara Soeharto dan Benny Moerdani serta konflik internal Angkatan Darat. Ketika Soeharto sudah sulit untuk mengontrol militer dan lambat laun tidak mendapatkan dukungan penuh. Soeharto mencoba melakukan perombahan struktur militer dengan dekat dengan angkatan 1972 (mempersiapkan Wiranto sebagai putra mahkota dalam struktur tertinggi militer) dan mengalihkan dukungan dari militer menjadi kalangan Islam dengan pendirian ICMI.
Dominasi militer pada masa orde baru tidak bermetamorfosis menjadi rezim militer. Pemerintahan orde baru lebih tepat dikategorikan sebagai pemerintahan birokrasi otoriter (O’Donnell) dengan melibatkan tiga aktor yakni militer, birokrasi dan teknokrasi. Keterlibatan birokrasi dan teknokrat menjadi wajar, dalam konteks dibutuhkannya keahlian administrasi dan konsep-konsep pembangunan serta militer membutuhkan dukungan politik yang besar. Pada Pemilu 1982, pengerahan jajaran birokrasi, baik ditingkat desa maupun perkotaan, mampu menyumbangkan lebih dari 20juta suara terhadap Golkar. Soeharto tidak memilih sistim pemerintahan yang identik dilakukan oleh rezim militer dengan memberlakukan sistim partai tunggal. Walaupun ABRI merupakan kekuatan anti partai, akan tetapi pasca naiknya Soeharto sebagai Presiden berikutnya, militer tidak melakukan perubahan radikal pembubaran dan pelarangan partai politik. Pada pemilu 1971 terdapat 9 partai dan 1 golangan karya, penyederhanaan partai baru dilaksanakan pada tahun 1973. Soeharto juga menggunakan pemilihan umum untuk melakukan penguatan sistim dan kehidupan politik.
Berdasarkan latar belakang di atas maka tulisan ini mengangkat pokok permasalahan: Bagaimana perbandingan partisipasi politik militer di zaman orde baru dan era reformasi?
C. Kerangka teori
1. Tipe Militer
Pretorian dirumuskan Amos Perlmutter sebagai situasi dimana militer dalam suatu masyarakat tertentu melaksanakan kekuasaan politik yang otonom dalam masyarakat tersebut berkat penggunaan kekuatan aktual atau ancaman penggunaan kekuataan. Pretorian terbagi dalam dua jenis yaitu pretorian historis dan pretorian modern.
Pretorian historis dimulai dari tentara ibukota Romawi yang selalu mendesakkan calon pemimpin negara untuk disetujui senat. Pretorianisme jenis ini kemudian berkembang subur di masyarakat feodal yang berciri patrimonial. Di dalam masyarakat ini tentara menjadi alat utama pendukung kekuasaan raja atau bangsawan. Hubungan antara tentara dengan penguasa didasarkan pada orientasi tradisi. Dalam pretorianisme modern, tentara justru menentang penguasa dan menawarkan jenis kekuasaan baru. Tentara dalam pretorianisme modern cenderung campur tangan dalam pemerintahan dan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif.
Pretorianisme modern terbagi atas 3 bentuk yaitu otokrasi militer, oligarki militer dan pretorianisme otoriter. Dalam otokrasi militer, pimpinan pemerintahan dipegang oleh seorang perwira militer yang sekaligus menjadi penguasa tertinggi. Dalam rejim ini, pemilu ditiadakan. Sedangkan dalam oligarki militer, pemerintahan dijalankan oleh beberapa orang, dimana eksekutif terdiri dari para perwira militer sedangkan eksekutif utama diduduki oleh pensiunan perwira militer atau orang sipil yang didukung militer secara penuh. Rejim ini hanya bisa bertahan selama mendapat dukungan dari militer dan selalu melakukan mobilisasi dukungan. Rejim ini juga hanya kadang-kadang saja mengadakan pemilu.
Ada pun dalam pretorianisme otoriter, pemerintahannya merupakan fusi militer dan sipil dengan kontrol yang sangat sedikit atau tidak ekstrim. Kombinasi dari ketiga bentuk pretorianisme modern itu bisa berwujud rejim militer otoriter, dimana tentara, birokrat, manajer dan tehnokrat memainkan peranan yang penting. Birokrasi terdiri dari militer dan sipil sedangkan kepala pemerintahan bisa dari sipil murni. Dukungan rejim ini adalah lembaga militer. Rejim ini juga mengusahakan dukungan politik dari luar negeri. Pemilu diadakan dengan pembatasan-pembatasan dan masih bisa menolerir adanya struktur politik nasional yang tidak mendukung rejim.
2. Kontrol Sipil atas Militer
Posisi militer yang sebenarnya adalah berada di bawah kontrol sipil secara demokratis. Dengan kalimat lain, hubungan sipil-militer (HSM) yang demokratis terjadi bila militer dikendalikan oleh sebuah kontrol sipil secara demokratis. Secara teoretis, kontrol sipil adalah sederhana: Semua keputusan pemerintah, termasuk keamanan nasional, tidak ditentukan oleh militer sendiri, melainkan diputuskan oleh pejabat sipil yang terpilih secara demokratis. Pada prinsipnya, kontrol sipil adalah absolut dan mencakup keseluruhan. Tidak ada keputusan atau tanggung jawab yang diberikan kepada militer kecuali secara ekspresif atau implisit didelegasikan kepadanya oleh pemimpin sipil. Bahkan keputusan-keputusan perintah –pemilihan strategi, operasi apa yang digunakan dan kapan, taktik apa yang dipakai, manajemen internal militer– berasal dari kekuasaan sipil. Mereka didelegasikan untuk menyeragamkan personel hanya untuk alasan-alasan kenyamanan, tradisi, keefektifan, atau pengalaman militer dan keahlian. Kaum sipil membuat semua peraturan, dan mereka dapat mengubahnya kapanpun.
Ada tiga dimensi penting untuk menempatkan kontrol sipil dan meletakkan militer pada posisi yang sebenarnya. Pertama, ancaman dan misi militer dalam konteks pertahanan-keamanan. Secara konvensional fungsi utama militer adalah memelihara pertahanan dan keamanan nasional. Misi dan doktrin keamanan nasional (national security) sangat menentukan posisi militer. Pijakan utama formulasi doktrin pertahanan dan keamanan sebagai perangkat lunak adalah “ancaman”, yang secara umum bisa dirumuskan menjadi dua kategori, yaitu sifat ancaman dan asal ancaman. Dua kategori ancaman ini melahirkan 4 tipologi seperti tergambar dalam bagan 1.

Bagan 1
Tipologi Ancaman Hankam
Tipologi Ancaman Militer Nonmiliter
Eksternal Tipe 1 Tipe 3
Internal Tipe 2 Tipe 4

Sifat ancaman bisa dirumuskan menjadi ancaman militer dan nonmiliter, sedangkan asal ancaman dibagi menjadi ancaman internal dan eksternal. Tipe 1 adalah ancaman militer-eksternal yang mencakup agresi, invasi dan infiltrasi kekuatan militer bersenjata dari luar. Tipe 2 adalah militer-internal dalam bentuk pemberontakan separatis bersenjata yang menggunakan kekuatan senjata secara terorganisir dan terlatih (well armed). Tipe 3 adalah ancaman nonmiliter-eksternal yang mencakup emigran gelap, penyulundupan narkoba, teror, bajak laut, penangkapan ikan secara ilegal, dan perusakan lingkungan. Tipe 4 adalah nonmiliter-internal seperti bencana alam, wabah penyakit, konflik sipil, kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan masalah lain yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan militer tetapi mempunyai kandungan perlindungan terhadap rakyat.
Tipologi itu secara normatif menuntut secara tegas perbedaan pertahanan dan keamanan, dan sekaligus akan sangat mempengaruhi dimana peran militer. Secara konvensional, ancaman pertahanan adalah tipe 1 dan tipe 2, yang kemudian menjadi wilayah yang dibebankan kepada tentara. Sedangkan keamanan berkaitan dengan tipe 3 dan tipe 4 yang dibebankan kepada polisi dan elemen-elemen sipil lainnya.
Kedua, hak istimewa dan kontestasi militer dalam politik, seperti tergambar dalam bagan 2. Kontestasi militer berarti keterlibatan militer dalam urusan politik, terutama menduduki jabatan-jabatan politik (kabinet, parlemen, eksekutif, dll). Sedangkan hak istimewa adalah otonomi militer dalam menggunakan kekuatan militernya (personel, senjata, anggaran, dll). Militer yang punya hak istimewa bila dia bisa mengambil keputusan secara otonom menggunakan kekuatan militernya untuk menghadapi ancaman.
Hubungan sipil-militer yang ideal, atau posisi yang sebenarnya militer, terletak pada kuadran I (kontrol sipil). Kontrol sipil ditandai dengan hak istimewa dan kontestasi militer sama-sama rendah. Yang paling parah adalah kondisi kuadran IV, dimana kontestasi dan hak istimewa militer sama-sama tinggi, yang membuat demokrasi hancur. Kondisi Orde Baru menggambarkan kuadran IV ini.
Bagan 2
Kontestasi dan hak istimewa militer
Hak istimewa
Rendah Tinggi

Kontestasi Rendah Kontrol sipil Akomodasi sipil yang tidak seimbang
tinggi Posisi pemimpin militer yang tidak bisa dipertahankan Demokrasi hancur

Sumber: Alfred Stepan (1986) dan Sutoro Eko (2002).
Kuadaran II, akomodasi sipil yang tidak seimbang (hak istimewa tinggi tetapi kontestasi rendah), merupakan kondisi yang tidak ideal. Dari perspektif teori demokrasi, sebuah masyarakat bernegara dalam posisi seperti ini punya kerentanan serius, karena kekuatan struktural militer laten merasa sah dalam penguasaan mereka atas hak istimewa di sektor pertahanan-keamanan. Salah satu kerentanan adalah bahwa proses kebijakan mungkin sangat konfliktual, dan militer, yang didukung oleh sekutu-sekutunya yang kuat, dapat menggunakan seluruh hak istimewanya untuk memaksakan serangkaian hasil kebijakan yang terpaksa diterima oleh para pemimpin sipil guna menghindari munculnya kudeta. Bentuk kerentanan lainnya dalam posisi “akomodasi sipil yang tidak serimbang” adalah bahwa suatu masyarakat-negara dapat ditransformasikan ke dalam sebuah “negara garnisun” di bawah pemimpin sipil nondemokratis akibat dari eksploitasi pihak eksekutif atas hak istimewa militer. Kelemahan lain dalam posisi ini adalah rendahnya tingkat otonomi rezim ketimbang militer, yang terimplikasikan dalam tingginya tingkat hak istimewa militer, yang dapat mengurangi legitimasi demokrasi baru di mata masyarakat.
Kuadran III, posisi pemimpin militer yang tidak bisa dipertahankan, ditandai dengan hak istimewa militer rendah tetapi kontestasi militer dalam politik tinggi. Artinya militer tidak lagi mempunyai hak istimewa menggunakan kekuatan senjatanya, tetapi militer secara terlibat dalam politik. Tipe ini membuat militer tidak profesional dan rapuh sebagai alat pertahanan negara, karena para pejabatnya lebih suka masuk ke arena politik dan bisnis ketimbang memikirkan pertahanan negara.
Ketiga, orientasi militer, yang dibagi menjadi orientasi profesional dan orientasi praetorian. Militer profesional adalah militer yang memegang teguh fungsi pertahanan-kemanan, mempunyai keahlian dalam menggunakan senjata, setia pada negara bukan pada pemerintah atau komandan, punya jiwa corsa yang kuat, dan punya etika militer yang kuat. Etika ini mementingkan ketertiban, hirarkhi dan pembagian tugas serta pengakuan atas nation-state sebagai bentuk tertinggi organisasi politik. Negara yang kuat jika ada kekuatan militer yang kuat, tetapi kekuatan militer ini adalah perangkat negara. Dalam tubuh militer tidak perlu ada demokrasi, misalnya dalam bentuk perdebatan terbuka antara komandan dan parjurit, sebab demokrasi bisa menghancurkan profesionalisme militer. Kita tidak boleh menganggap dan menggunakan demokrasi seperti “balsem” untuk mengobati segala macam penyakit. Kita tidak boleh membawa demokrasi di sembarang tempat, termasuk dalam militer. Etika dalam militer bukanlah demokrasi, melainkan sentralisasi, otoritarianisme dan hirarkhi. Sedangkan demokrasi adalah etika hubungan antara pemerintah dan rakyat atau negara dan masyarakat.
Militer pretorian adalah militer yang lebih suka berpolitik atau menjalankan aktivitas ekonomi, ketimbang mengurusi pertahanan. Militer aktif yang jadi menteri, parlemen, kepala daerah, atau menjalankan bisnis adalah militer praetorian, alias militer yang tidak punya etika profesional. Apalagi tentara yang jadi pelaku atau beking bisnis gelap yang sejak dulu marak di Indonesia. Sebagai contoh, seorang kolonel aktif yang jadi bupati akan mempunyai tanggungjawab ganda: yang satu ke publik dan yang lain ke jenderal yang lebih tinggi. Kalau mau memecat bupati bermasalah, seperti pengalaman Sri Roso Sudarmo di Bantul, harus memperoleh izin dari panglima TNI. Seorang tentara tetap boleh menjadi pejabat politik, tetapi ia harus lepas identitas militernya sampai di titik nol atau sampai tidak lagi berhubungan dengan komando dan organisasi militer.

D. Perbandingan Partisipasi Politik Militer di Zaman Orde Baru dengan Era Reformasi
Dimulai dari bagaimana militer masuk ke politik, lahir dwi fungsi, terus peran politik militer yang meluas dan kebijakan-kebijakan, jabatan-jabatan strategis banyak di duduki oleh militer, dan pendebatan konflik memakai cara-cara militer. Tetapi seiring adanya refomasi terjadi reformasi dan demokratisasi termasuk di dalamnya menuntut dwi fungsi ABRI dihapus dan militer di reformasi dan kemudian menjalankan fungsi-fungsi militer hanya dalam konteks pertahanan dan keamanan.
1. Militer di Zaman Orde Baru
a. Politik Soeharto terhadap Militer
Sudah menjadi pengetahuan umum, militer di Indonesia yang menjelma dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-kini Tentara Nasional Indonesia (TNI) plus Polisi Republik Indonesia (Polri)-adalah satu komponen negara yang memiliki nilai politis dan strategis tersendiri. Meskipun senantiasa menampilkan citra solid dan independen, namun bukan rahasia lagi dalam tubuh lembaga militer tersebut hubungan di antara berbagai kelompok kepentingan di dalamnya tidak selalu berjalan harmonis. Fenomena perpecahan kelompok di dalam tubuh TNI dan Polri tidak hanya terjadi sekarang saja. Sebelumnya pun intrik internal senantiasa terjadi. Pergulatan internal ABRI terjadi pula pada masa Soeharto.
Sekelumit tentang bukunya, Jenkins melakukan penelitian resmi terhadap ABRI dan hubungannya dengan Soeharto selama 14 bulan, yaitu antara tahun 1981-1982; tetapi jauh sebelum itu ia sudah memiliki pengalaman pribadi dengan birokrasi Indonesia ketika bertugas menjadi koresponden Far Eastern Economic Review pada tahun 1976-1980. Dalam bukunya Jenkins menyimpulkan, sampai dengan tahun 1980 secara garis besar ABRI sedikitnya terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama, yaitu para pejabat teras ABRI yang memiliki kedekatan khusus dengan presiden dan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam pemerintahan. Dalam pengejawantahannya, kelompok ini mengintervensi kehidupan masyarakat dengan menduduki posisi penting dalam tatanan sosial-politik-ekonomi masyarakat dalam bentuk kekaryaan, seperti menjadi menteri, duta besar, anggota dewan perwakilan rakyat, komisaris atau direktur badan usaha milik negara (BUMN), bankir, rektor universitas, gubernur, bahkan sampai tingkat yang lebih rendah lagi menjadi bupati. Kelompok ini juga mendukung hubungan mesra ABRI dengan Golongan Karya (Golkar).
Kelompok kedua adalah para pejabat dan perwira yang menginginkan agar ABRI dapat berdiri di atas semua golongan, tidak berpihak, dan menjadi pengayom bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak menjadi pengecualian, ABRI tidak ditolelir menitikberatkan dukungannya terhadap Golkar, partai politik terbesar di Indonesia yang menjadi tumpuan pijakan kekuasaan Soeharto.
Perbedaan pendapat di antara para anggota ABRI ini berlangsung cukup lama dan semakin meruncing, ketika Jenderal M. Yusuf menjabat sebagai Panglima ABRI. Sejak akhir tahun 1978 hingga awal tahun 1980, Jusuf mengkampanyekan manunggalnya ABRI dengan rakyat. Artinya, ABRI menjadi bagian dari rakyat dan tidak memihak satu golongan tertentu saja. Situasi ini sebenarnya berbahaya buat militer dan juga Soeharto demi melanggengkan kekuasaannya yang banyak ditopang oleh ABRI. Kemudian Soeharto dalam pidatonya di Pekanbaru, Riau, Secara implisit Soeharto telah mengultimatum ABRI agar tetap mendukung Golkar.
b. Dampak dominasi militer dalam peran politik
Peniadaan peran sosial-politik militer setidaknya didasari oleh dua pertimbangan, pertama , ada kekhawatiran bahwa peran sosial-politik ABRI akan mengurangi profesionalisme ABRI sehingga memperlemah daya tempur mereka dalam menghapi ancaman keamanan konvensional. Kedua, peran sosial-politik ABRI dinilai menghambat proses demokratisasi. Organisasi militer yang sangat hierarkis dan disiplin yang sangat ketat akan mempersulit partisipasi massa yang menuntut adanya kebebasan menyatakan pendapat dan kemampuan bertindak secara otonom.
Dampak dominasi militer pada masa orde baru sebagai berikut :
1). Munculnya rezim otoriter sebagai penghambat demokratisasi
Banyak kalangan melihat intervensi militer kedalam wilayah politik merupakan bagian faktor terbesar penyebab pelbagai persoalan bangsa dan faktor pendorong terciptanya zaman otoriterism. Posisi militer pada masa orde baru mempunyai 4 (empat) dampak . Pertama, peran sosial politik TNI yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Akibat keterlibatan “oknum” TNI/ABRI, banyak kasus hukum yang masih misterius hingga sekarang, seperti pada kasus tewasnya Marsinah dan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini. Bahwa banyak unit-unit bisnis yang melibatkan militer atau “oknum” militer yang biasanya dibungkus dengan kata “kerja sama” dengan sipil yang berujung pada kebangkrutan di pihak sipil.
Sementara itu, Alfred C. Stepan meniliti bahwa hak-hak istimewa kelembagaan militer (military previlege ) yang tinggi cenderung menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik antara sipil-militer, daripada terciptanya akomodasi sipil. Begitu juga pengembangan dan penyebaran teknologi militer yang tinggi juga menyebabkan terbukanya kemungkinan penyalahgunaan kekuatan militer untuk menghambat proses demokratisasi pemerintahan baru yang sedang berkembang . Eep Saefullah Fatah menyatakan bahwa demokrasi dan militer adalah sebuah oxymoron : dua buah kata yang tidak mungkin dipadukan. Oleh karenanya, keterlibatan militer dalam politik adalah sumber dari segala sumber penyakit sistem politik dan demokratisasi hanya dapat dijalankan oleh kekuatan sipil dengan terlebih dahulu membersihkan sistem politik dari intervensi militer. Sedangkan menurut Ikrar Nusa Bhakti dkk, Keterlibatan militer dalam politik akan merusak kompetisi politik, mendistorsi kebijakan politik, serta menciptakan berbagai kerusuhan dan keresahan sosial dalam rangka bargaining politik keamanan. Bahkan Samuel Hutington menganalisa bahwa intervensi militer dalam politik adalah menyalahi kode etik keprofesionalannya, bahkan dikatakan sebagai tanda adanya political decay (pembusukan politik) .
Mengutip studi Robert K. Clark, di delapan negara dunia ketiga, disimpulkan bahwa gejala naiknya kekuasaaan militer memang merupakan gejala umum dunia ketiga sebagaimana gejala maraknya otoriterisme. Sipilisasi tidak selalu mendatangkan demokratisasi, tapi militerisasi justru hampir selalu mendatangkaan otoritarisasi. Nordlinger menegaskan, jika sebuah pemerintahan dikuasai oleh militer maka hampir pasti akan melahirkan otoritarianisme.
Pada masa pemerintahan orde baru, dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia dimana hampir posisi strategis pemerintahan dikuasi oleh militer membawa dampak bagi kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berpendapat. Militer melakukan kontrol terhadap media massa ataupun aktivitas politik yang dilakukan partai politik maupun masyarakat umum. Kontrol militer yang berlebihan terhadap aktivitas masyarakat menyebabkan terjadinya kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Setidaknya ada 6 kasus kemanusiaan yang terjadi sebagai implikasi pendekatan kekerasan. Dimulai dari kasus malari (1971), Tanjung Priuk (1984), Talang Sari Lampung (1989), DOM Aceh (1989-1998), Kudatuli 27 Juli 1996, rentetan kekerasan ditutup dengan peristiwa penculikan aktivis 1998 dan tragedi trisakti I. Menurut data yang dimiliki KontraS (komisi orang hilang dan korban tindak kekerasan) kejadian tersebut menelan korban tidak kurang dari 9085 orang. Menurut Fajrul Falaakh, suramnya penyelesaian masalah perburuhan dan pertanahan, juga operasi militer di Timor-Timur, Aceh, Lampung, Tanjung Priuk, merupakan bukti-bukti yang selalu diungkap sebagai keburukan peran non-militer ABRI. Dominasi militer pada kepemimpinan pemerintahan daerah berimplikasi pula, tidak ada netralitas birokrasi dan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan sejak 1971-1997. Investasi militer dalam netralitas birokrasi dan pemilu hanya terbatas pada fungsi kontrol atau memastikan birokrasi solid untuk mendukung Golkar. Keberadaan militer didalam DPR/MPR dan Golkar menghilangkan fungsi check dan balance dalam penyelenggaraan Negara.
2). Mempengaruhi profesionalisme militer
Huntington menegaskan :
Politik menangani tujuan-tujuan kebijakan negara, kemampuan dalam bidang ini terdiri dari pengetahuan yang luas mengenai elemen-elemen dan kepentingan yang mempengaruhi sebuah keputusan dan dalam menjalankan otoritas yang sah untuk membuat keputusan. Politik berada di luar lingkup kemampuan militer, dan partisipasi perwira militer di dalam politik merusak profesionalisme mereka, membatasi kemampuan profesional mereka, memisah-misahkan profesi mereka sendiri, dan menggantikan nilai-nilai profesional dengan nilai-nilai asing. Perwira militer harus netral secara politis. ” komandan militer jangan pernah mengizinkan pandangan militer yang dimilikinya terbungkus oleh asas manfaat politik ”21 .
c. Faktor penyebab dominannya peran politik yang dimiliki militer
Secara umum, ada dua kelompok utama yang memandang campur tangan militer dalam politik. Perlmutter (1980), Huntington (1959), dan Welch (1970) melihat faktor eksternal militer sebagai penyebab munculnya intervensi militer keranah sosial-politik, sedangkan Finer ( 1988 ) dan Nordlinger (1994) melihat faktor internal militer (kepentingan militer) sebagai penyebab terjadinya intervensi militer kedomain sipil22.
Dorongan keterlibatan militer Indonesia dalam peran diluar peran aslinya secara sederhana dapat dilihat ditabel berikut :
Faktor Penjelasan
Internal ABRI  Perwira – perwira Intervensionis terutama didorong oleh motivasi untuk membela atau memajukan kepentingan militer yang berlawanan dengan norma konstitusional
 Intervensi militer didorong oleh kepentingan kelas untuk membela nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah yang darinya mereka berasal.
 Kemahiran profesional di kalangan militer menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional dibandingkan dengan kepemimpinan sipil.
 Intervensi militer dalam politik sebagai sebab ambisi pribadi perwira-perwira yang haus wibawa dan kuasa
Eksternal ABRI  Intervensi militer dalam politik akibat sebagai akibat dari struktur politik masyarakat yang masih rendah dan rentan.
 Kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah (untuk kasus Indonesia terjadi pada masa Demokrasi Parlementer pada tahun 1965 ) atau kelompok sipil dipandang tidak mampu memberikan jaminan tertib politik dan stabilitas politik.
 Kelompok sipil dianggap tidak mampu dalam melakukan modernisasi ekonomi.
 Terjadinya disintegrasi nasional.
Sumber: DPW-LIPI
Menurut Yahya A. Muhaimin ada faktor eksternal dan internal yang mendorong militer secara aktif memasuki arena politik dan memainkan peranan politik. Faktor eksternal diantaranya : pertama, adanya ketidak stabilan sistem politik. Keadaan seperti ini terbuka kesempatan dan peluang yang besar untuk menggunakan kekerasan di dalam kehidupan politik. Kedua, kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfer kehidupan politik, bahkan untuk mendapatkan peranan-peranan politik yang menentukan. Ketiga, political perspektif kaum militer atas kerja elite sipil. Dalam suatu keadaan di mana kepemimpinan politik sipil dianggap militer tidak beres, korup, lemah dll, maka dorongan intervensi militer semakin besar.
Sedangkan faktof internal adalah: pertama, kepentingan golongan militer. Kepentingan ini berupa; kepentingan militer sebagai satu institusi, dapat juga sebagi satu kepentingan kelas, dapat kepentingan daerah dan dapat juga kepentingan pribadi. Kedua, momentum psikologis militer dalam menggerakkan diri memasuki arena politik. Ada 2 elemen dalam ini. Pertama, militer menyadari dirinya memiliki kekuatan tidak terkalahkan dalam masyarakat. Kedua, perasaan dendam dan kecewa kalangan militer terhadap sipil karena rasa harga-dirinya yang tinggi.
Faktor penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia pada pemerintahan orde baru adalah:
1). Momentum pemberontakan PKI dan balas jasa kepada militer
Faktor ini sebenarnya masuk dalam persepsi militer atas kegagalan pemerintahan sipil, penulis sengaja memisahkannya untuk memberikan titik tekan yang lebih.
Harold Crouch menyatakan:
Indonesia memasuki babakan politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang menandai runtuhnya keseimbangan 3 aktor politik utama dengan kehancuran PKI dan semakin merosotnya kewibawaan politik Presiden Soekarno. Keberhasilan Angkatan Darat menumpas kekuatan komunis telah menimbulkan efek psikologis luar biasa pada masyarakat anti komunis, akan citranya sebagai penyelamat negara dari rongongan komunis. Setelah kewibawaan politik Presiden Soekarno merosot secara drastis pada masa-masa pasca kudeta. Sentral kekuatan politik lambat-laun bergeser dari istana kepresidenan ke Markas Kostrad, dimana Mayjen Soeharto selaku pemegang kendali efektif atas tentara bermarkas pada waktu itu.
Peristiwa PKI hanyalah momentum untuk menguatkan posisi militer dalam peran politik yang telah dimainkan sebelumnya atau meminjam istilah Eric A Nordlinger, naiknya Soeharto pasca pemberontakan PKI merupakan peralihan status ABRI dari “moderator praetorian” menjadi “penguasa pretorian”.
2). Persepsi atas kegagalan pemerintahan sipil
Dalam Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, sebagaimana dikutip Bilveer Singh, disebutkan faktor-faktor yang mendasari konsep dwifungsi adalah:
a) Kegagalan para politisi sipil memaksa ABRI untuk memainkan peren sosial politik lebih besar.
b) Peran ABRI tetap menentukan karena merupakan kekuatan satu-satunya yang dapat menjamin bahwa pancasila tetap menjadi idiologi nasional.
c) ABRI dipandang sebagai penyelamat nasional satu-satunya mengingat banyaknya krisis negara yang telah dialami 27 .
Persepsi militer adalah kegagalan pemerintahan sipil (orde lama) dikarenakan tiga faktor yakni instabilitas politik pasca pemilu 1955, terjadinya pelbagai pemberontakan di daerah serta terjadinya kriris ekonomi yang melanda Indonesia (mengalami inflasi 1000 persen lebih). Dengan persepsi kegagalan pemerintahan orde lama, militer Indonesia ingin menempatkan dirinya sebagai motor pembangunan sebagaimana penilaian lembaga militer di Amerika Latin yang berhasil meninggikan investasi asing, menyebabkan sebutan militer sebagai motor pembangunan, argumentasi didasarkan beberapa hal :
a) Militer dilihat sebagai bentengan pertahanan melawan ketidakstabilan dan persebaran komunisme di negara-negara berkembang.
b) Militer merupakan institusi yang terorganisir paling baik dalam negara (profesionalisme)
c) Militer dianggap sebagai institusi berorientasi rasional dan teknologi
d) Militer pun dianggap memiliki orientasi pembangunan bertata nilai modern.
e) Militer berperan sebagai pemimpin dalam proses politik sebuah bangsa yang mampu menghindari berbagai ekses partisipasi yang menjurus pada instabilitas.
f) Anggota militer dipandang berpendidikan, dengan pengetahuan teknis, kepakaran, dan pengetahuan organisatoris.
g) Militer dipandang sebagai institusi paling efisien dalam memberikan solusi permasalahan, karena pada keadaan darurat bisa menggunakan kekerasan
Terakhir, fungsi mililter yang” mempersatukan” dalam mengatasi konflik etnis, dipuji sebagai personifikasi bangsa.
3). Menjaga stabilitas sebagai faktor utama pembangunan ekonomi
Ketika pemerintahan orde baru menegaskan untuk fokus pada masalah pembangunan ekonomi, maka prasyarat utamanya tentunya masalah stabilitas politik. Lucyan W Pye menegaskan: polical develompent as stabillity and orderly change. Bagaimana korelasi atas stabilitas politik dengan pertembuhan ekonomi? Meminjam istilah Pye, political development as prerequisite of economy development. Negara pasca kolonial mempunyai masalah dalam pembangunan ekonomi yakni terkait modal dan teknologi. Oleh karenanya bisa dipahami peraturan pertama yang dikeluarkan Soeharto terkait dengan investasi. Kebutuhan akan modal asing inilah yang mendasari pemerintahan orde baru menciptakan stabilitas. Tidak ada kekuatan di Indonesia saat itu yang lebih memungkinkan digunakan untuk menciptakan stabilitas selain militer. Atas pertimbangan inilah kemudian Soeharto melakukan upaya menciptakan stabilitas politik, salah satu langkah yang diambil yakni menempatkan militer dalam posisi strategis pemerintahan dan lembaga politik khususnya Golkar dan lembaga legislatif. Fungsinya untuk mengawasi aktivitas politik masyarakat dan ”mengikat kaki dan tangan” partai politik agar tidak melakukan aktivitas oposisi. Pemerintahan orde baru terpengaruh pula dengan teori modernisasi yang menggambarkan demokrasi dimulai dengan pembangunan ekonomi (Lipset ataupun Huntington). Wajar kiranya ketika orbe baru ”menahan” demokrasi dengan dalih pembangunan ekonomi. Menahan demokrasi sampai saat tertentu untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi dapat dipahami, akan tetapi Soeharto melakukan kesalahan dengan membiarkan dominasi militer terus berlangsung.
4). Upaya Soeharto mempertahankan kekuasaan, ketaatan serta hasrat kekuasaan perwira.
Naiknya Soeharto banyak kalangan menilai merupakan buah dari kudeta militer, bukan dari mandat SUPERSEMAR. Sejarah penyerahan estapet pemerintahan dari tangan Soekarno ketangan Soeharto masih menyimpan banyak misteri. Dominasi militer dalam pemerintahan orde baru, harus dilihat pula sebagai upaya Soeharto mempertahankan kekuasaanya. Pandangan ini sangat relevan ketika Soeharto secara pribadi tampil dominan didalam tubuh Golkar sebagai ketua dewan pembina ataupun mendorong militer untuk mendominasi struktur Golkar agar memastikan Golkar dapat keluar sebagai pemenang sehingga bisa melanggengkan kekuasaan Soeharto. Keinginan Soeharto melanggengkan kekuasaan bertemu dengan ketaatan dan hasrat kekuasaan para perwira militer, apa yang dilakukan militer disatu sisi memperlihatkan bentuk ketaatan terhadap otoritas politik untuk memberikannya peran yang dominan dalam perpolitikan, namun, ketaatan yang ada diliputi pula hasrat kekuasaan yang kuat. Tentunya kalangan militer mempunyai hasrat kekuasaan yang sama kuatnya dengan kalangan sipil. Kondisi militer seperti ini menjadi kecenderungan global. Banyaknya purnawirawan ataupun perwira militer yang pensiun dini (alih satus) sebagai persyaratan maju dalam Pilpres ataupun pemilihan kepala daerah menunjukkan hasrat tersebut.
5). Memperjuangkan kepentingan militer
Eric A. Nordlinger menegaskan bahwa, anggaran dana tahunan militer yang memadai merupakan salah satu kepentingan korporat militer. Campur tangan militer Peru diantara rangkaian kudeta yang terjadi antara tahun 1912-1964, dikarenakan pemerintahan sipil berusaha menurunkan anggaran belanja militer. Oleh karenanya, penguasa yang menggantikan pemerintah yang ditumbangkan segera melakukan relokasi demi meningkatkan jumlah anggaran militer. Arif Yulianto melihat setidaknya ada 3 ( tiga ) kepentingan yang memainkan peranan amat penting dalam keputusan militer untuk campur tangan dalam politik, yaitu: Pertama, militer dalam memperjuangkan kepentingan kelompok atau organisasi, baik untuk memperoleh fasilitas-fasilitas militer maupun untuk memberikan gaji yang layak kepada anggotanya, jika para pemimpin sipil gagal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka ada kecenderungan militer yang lebih besar untuk terpolitisasi dan terintervensi dalam politik. Kedua, korps militer adalah wakil penting dari kelas menengah perkotaan, dan apabila pemerintah gagal untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah, maka kelompok perwira militer diperkirakan akan melakukan tekanan terhadap pemerintah, bahkan kemungkinan menjatuhkannya. Ketiga, para pemimpin puncak militer dapat pula membangun kepentingan-kepentingan pribadinya melalui intervensi militer dengan menempatkan mereka di dalam petronase pemerintah.
2. Militer di Era Reformasi
Gelombang reformasi Mei 1998 memaksa ABRI mengadakan perubahan internal dalam organisasi hingga paradigmanya. Beberapa langkah awal reformasi organisasi TNI adalah mengubah nama ABRI menjadi TNI, kemudian diikuti dengan langkah restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Misalnya, likuidasi beberapa organisasi ABRI yang dianggap tak sesuai dengan semangat reformasi seperti Badan Pembinaaan Kekaryaan (Babinkar) yang di era Orde Baru mengelola penempatan ABRI dalam struktur pemerintahan sipil, likuidasi Kepala Staf Komando Teritorial (Kaster) TNI, serta likuidasi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang membuat militer mengontrol kehidupan politik.
Reformasi mencanangkan Paradigma Baru ABRI melalui langkah reaktualisasi, reposisi dan redefinisi peran ABRI 1999. Pertama, mengubah cara-cara pendekatan secara langsung menjadi tidak langsung. Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Ketiga, mengubah dari konsep harus selalu di depan menjadi tidak harus selalu di depan. Keempat, kesiapan untuk melakukan pembagian peran dengan mitra non ABRI. Empat hal yang dicanangkan oleh Panglima ABRI Jenderal (TNI) Wiranto dinilai sebagai perubahan paradigma yang separuh hati. Makna substansial Paradigma Baru ialah ABRI tetap menganggap dirinya superior, serba lebih tahu urusan negara dan dengan sendirinya mensubordinasi politik sipil. Pola pikir seperti ini yang masih membuat lambatnya perubahan yang terjadi di internal militer.
Demokratisasi politik tingkat nasional kemudian melahirkan produk regulasi politik dan kebijakan yang menata sistem keamanan nasional. Ini tercermin dalam langkah positif yang berarti berupa pemisahan TNI dan Polri, April 1999. tindakan kepolisian akan lebih oleh aparat kepolisian tanpa harus khawatir dengan intervensi kepentingan militer. Kemajuan ini lalu diperkuat oleh TAP MPR No. VI Tahun 2000 dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengatur tentang pemisahan peran TNI dan Polri. Pada tahun yang sama, dilakukan amandemen konstitusi UUD 1945, termasuk ketentuan Pasal 30 mengenai pertahanan dan keamanan negara yang menegaskan pembedaan fungsi pertahanan dan keamanan. Langkah-langkah ini sempat menimbulkan polemik. Kepentingan pemisahan organisasi antara TNI dengan Polri adalah sesuatu yang mendesak. Namun sebagian kalangan menilai pemisahan tugas dan peran yang dikotomis antara pertahanan dan keamanan, berpotensi menimbulkan masalah, diantaranya kebingungan dalam menangani kejahatan transnasional dan potensi konflik antara personel Polri dan TNI di lapangan.
Arus reformasi juga mulai mengurangi dominasi Angkatan Darat (AD) dalam TNI. Pada era Soeharto berkuasa, jabatan Panglima TNI selalu berasal dari AD. Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden, mendobrak tradisi ini dengan mengangkat seorang Marsekal Angkatan Laut (AL) sebagai Panglima TNI. Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrahman Wahid membuat jabatan Panglima TNI diisi kembali dari AD. Di penghujung pemerintahan Megawati, Undang-undang 34/2004 tentang TNI disahkan dan menyatakan bahwa posisi Panglima TNI dijabat secara bergantian. Upaya melanjutkan kepemimpinan TNI di bawah Jenderal (AD) Ryamizard Ryacudu sempat memicu kontroversi, saat Presiden hasil Pemilu 2004 Susilo Bambang Yudhoyono tetap memutuskan Marsekal TNI AU Djoko Suyanto sebagai Panglima TNI.
KontraS mencatat, pasca 2004 banyak anggota TNI, baik purnawirawan maupun yang masih aktif ikut dalam pertarungan pemilihan kepala daerah (pilkada). Meskipun jauh-jauh hari Panglima TNI yang waktu itu dijabat oleh Jenderal Endriartono Sutarto sudah memperingatkan mengenai netralitas TNI dalam pilkada, serta tidak diperkenankannya anggota TNI aktif untuk ikut mencalonkan diri, namun kembali fakta di lapangan berkata lain, beberapa anggota TNI aktif tetap tergoda untuk ikut bertarung berebut kursi gubernur/wakil gubernur ataupun walikota/bupati. Fenomena ini sebenarnya disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, persoalan regulasi politik yang memang masih memberi peluang bagi anggota aktif TNI untuk ikut mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Walaupun dalam UU TNI Pasal 39 Ayat (4) sudah ditegaskan, setiap prajurit (anggota TNI aktif) dilarang untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya, UU Pemilihan Umum masih memberi celah tersebut. Anggota TNI aktif boleh mencalonkan diri sebagai calon dalam Pemilu dengan syarat harus berstatus non aktif yang bersifat sementara, jika terpilih baru kemudian diberhentikan/pensiun dini. Celah inilah yang membuat TNI secara institusional tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada anggotanya yang berniat untuk ikut bertarung dalam pemilihan umum.
Kedua, tentu persoalan paradigma juga masih merupakan masalah pokok. Sejak proses reformasi 1998, TNI gagal untuk meredefinisikan atau merevitalisasi paradigma mengenai “TNI adalah tentara rakyat” yang lahir dari rakyat dan bersama rakyat. Paradigma ini cenderung mengaburkan hubungan sipil militer dalam sistem negara, sehingga dengan berbekal paradigma itu, TNI selain berperan dalam pertahanan negara juga harus memiliki peran di wilayah publik seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kegagalan meredefinisikan paradigma ini, membawa figur-figur militer masih terus tergoda untuk masuk ke wilayah publik, contoh nyatanya adalah pilkada. Celakanya kegagalan paradigmatik ini diikuti dengan tumpulnya analisa politik dari kalangan militer dalam membaca perubahan, peluang politik yang ditawarkan partai politik tidak seiring dengan kesadaran dan minat pemilih.
Hal ini dibuktikan dengan tumbangnya beberapa figur militer di beberapa pilkada. Contohnya adalah gagalnya Tayo Tahmadi di Jawa Barat yang disusul kalahnya Agum Gumelar pada pemilihan Gubernur selanjutnya di Jawa Barat. Hal yang sama dialami Tritamtomo di Jawa Timur, disusul Letkol (Bais) Didi Sunardi di Serang Banten, dan Kolonel (Inf) DJ Nachrowi di Ogan Ilir Sumatera Selatan. Belum lagi pertarungan dua Jenderal purnawirawan yakni Letjend TNI (Purn) Bibit Waluyo dan Mayjen TNI (Purn) Agus Suyitno di Jawa Tengah. Kekalahan-kekalahan ini menunjukkan bahwa pilihan rakyat tidak lagi menyandarkan pilihannya pada figur yang berlatar belakang militer, sehingga sangat merugikan bagi TNI, jika melepaskan kader-kader terbaiknya untuk bertarung dalam kontestasi pemilu. Tenaga dan pikiran mereka akan berkontribusi lebih banyak jika fokus pada tugas pokok TNI yang diamanatkan konstitusi kita sebagai alat pertahanan negara.
Ketiga, masalah lain berada di luar institusi TNI, yakni lemahnya kapasitas politik sipil dalam hal kaderisasi internal partai. Frustasi politik dalam mencetak kader yang berkualitas, selalu membuat partai masih mencari-cari figur dari militer yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Dalam hal ini figur militer selalu difasilitasi dan ditarik-tarik oleh partai untuk masuk dalam kontestasi politik. Peluang ini jelas disambut baik oleh para figur militer yang memang kebetulan punya ambisi politik namun peluang politiknya tertutup oleh proses reformasi TNI yang memangkas tradisi politik TNI. Secara institusi TNI juga tidak bisa berbuat banyak, karena peluang itu sah dan dibenarkan oleh regulasi yang ada. Majunya calon berlatar belakang militer bisa dilihat dari banyaknya purnawirawan Jenderal yang berminat untuk bertarung dalam kontestasi pemilihan presiden 2009 maupun yang ikut dalam pengurus partai politik. .
Konsep kemanunggalan yang disalah artikan. Tidak ada yang memungkiri, pada saat perang kemerdekaan militer Indonesia adalah satu kesatuan, saling bahu membahu melawan kolonialisme Belanda pada saat itu, namun fakta sejarah ini tidak bisa kemudian diklaim sebagai hak sejarah oleh TNI.
“Historical fallacies (kesalahan sejarah) telah menumbuhkan persepsi yang salah, bahwa fakta sejarah harus diperlakukan sebagai hak sejarah. Sekalipun barangkali fakta sejarah menunjukkan, TNI adalah anak kandung revolusi dan tak terpisahkan dari rakyat, sehingga menyandang peran ganda – sebagai militer profesional sekaligus sebagai kekuatan sosial politik – fakta tersebut tidak bisa dengan sendirinya menjadi hak”

Konsep kemanunggalan rakyat dengan TNI pada masa Orde Baru melegitimasi peran sosial politik TNI. Kini zaman sedang berubah, landasan historis TNI seharusnya bisa lebih dinamis, konsep pertahanan modern dengan melibatkan rakyat dalam definisi konvensional adalah paradigma usang. Perlu digagas hubungan sipil militer, jarak, tugas dan tanggungjawab yang jelas. TNI dan masyarakat sipil di negara demokrasi tidaklah berada pada posisi sejajar, tapi masyarakat sipil adalah pemegang kedaulatan tertinggi, termasuk supremasi terhadap militer melalui mekanisme politik yang ada.
Persoalan paradigmatik ini kemudian berujung pada kekeliruan doktrin pada level operasional (doktrin pelaksanaan) yang dikenal sebagai doktrin Tri Dharma Eka Karya/Tridek (pengganti doktrin Catur Dharma Eka Karya/Cadek). Paradigma lama tanpa usaha melakukan redefinisi terhadap konsep kemanunggalan TNI dengan rakyat menjadikan pertahanan Indonesia masih mengandalkan unsur masyarakat sipil dalam konsep perang rakyat semesta-nya.

E. Penutup
Militer pada posisi yang sebenarnya bila ditandai dengan beberapa karakter: Pertama, militer mempunyai orientasi profesional yakni tidak cenderung melakukan intervensi dan dominasi dalam kehidupan politik; Kedua, militer hanya menjalankan fungsi pertahanan-kemanan; ketiga, secara institusional militer bertindak sebagai lembaga yang bertugas sebagai aparat negara, bukan sebagai komponen pemerintahan; keempat, militer sebagai lembaga yang didukung oleh pemerintah mengembangkan militerisasi dalam pengertian build-up, yakni membangun industri militer untuk kepentingan pertahanan-keamanan; kelima, ideologi militerisme ke dalam wilayah kehidupan masyarakat relatif terbatas; keenam, militer berada dalam posisi subordinat yang tunduk pada supremasi sipil dalam pemerintahan; ketujuh, derajat kontestasi militer atau keterlibatan dalam pembuatan keputusan nasional sangat terbatas dalam bidang pertahanan-keamanan dan kebijakan luar negeri; kedelapan, hak-hak istimewa militer dalam menggunakan kekuatan senjata (perang) sangat terbatas, dibawah kontrol sipil; kesembilan, kekuatan sipil, baik masyarakat sipil maupun masyarakat politik, dalam posisi dominan yang mengontrol sepak-terjang militer.
Militer sangat mendominasi perpolitikan Indonesia pada masa orde baru dengan menempati posisi strategis pemerintahan pusat ataupun daerah. Militer juga mendominasi struktur Golkar sampai dengan Munaslub 1998 serta mendapat perlakuan istimewa dalam lembaga legislatif dengan jumlah yang fluktuatif, militer mendapatkan jatah melalu mekanisme pengangkatan. Kondisi ini menyebabkan pelbagai dampai, khususnya terkait tersumbatnya peluang demokrasi atau berbaliknya Indonesia menjadi rezim otoriter serta menurunkan profesionalisme militer, ini bisa dirasakan sampai saat ini, dimana Indonesia memiliki kompentensi tempur prajurit yang rendah dan sistim pertahanan yang lemah. Lemahnya sistim pertahanan menjadi salah satu faktor melemahnya posisi Indonesia dalam melakukan diplomasi dengan negara-negara tetangga. Faktor penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia disebabkan 2 faktor yakni faktor internal; hasrat kekuasaan para perwira termasuk didalam upaya Soeharto mempertahankan kekuasaan, memperjuangkan kepentingan militer khususnya terkait dana serta kesalahan memahami konsep stabilitas sebagi prasyarat pembangunan. Sedangkan faktor eksternal terkait dengan kegagalan pemerintahan orde lama.(instabilitas politik, pemberontakan didaerah dan krisis ekonomi).

Daftar Pustaka
Azca, Najib, Praktek-Praktek Bisnis Militer, Jakarta: RIDEP Institute, 2003

Chrisnandi, Yuddy, Reformasi TNI Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2005.

Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999

Diamond, Larry dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi,
Jakarta: Raja Grafindo, 2001

Fatah, Eep Saefullah, Zaman Kesempatan, Bandung: Mizan, 2000

_________________, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, Jakarta : Ghalia
Indonesia

Haramain, A Malik, Gus Dur, Militer dan Politik, LKis, Jogyakarta, 2004

Hutington, Samuel Prajurit dan Negara, Jakarta: Grasindo, Jakarta, 2003

Janowitz, Morris, Hubungan-Hubungan Sipil Militer Persfektif Regional, Jakarta: Bina
Aksara, 1985

Jenkins, David, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba Rezim Militer 1975-1983, Jakarta:
Komunitas Bambu, 2010, hal.266

La Ode, M.D, Peran Militer Dalam Ketahanan Nasional, Studi Kasus Bidang Hankam di
Indonesia 1967-2000, Jakarta: Sinar Harapan.

Liddle, R William, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta:
LP3ES, 1992

Muhaimin,Yahya A, Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia, Jogyakarta : UGM
Press,1982

Nordlinger, Eric A, Militer dan Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Nugroho, Heru, Masyarakat Pasca Militer: IRE dan Pact Indonesia, tanpa tahun

Rinakit, Sukardi, The Military During Pre-Reform Period, Singapura

Tim Peniliti PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Bandung : Mizan, 1999

Samego, Indra, Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwi-Fungsi ABRI, Bandung : Mizan,
1998

Stepan, Alfred, Militer dan Demokratisasi, pengalaman brasil dan negara lain, Jakarta :
Grafiti, 1999

Sulistyo, Hermawan ,“Bedil dan Kursi, Dimensi Politik Militer di Indonesia”, Pensil 324,
2004.

Susanto, Budi dan A. Made Tony Supriatma, ABRI: Siasat Kebudayaan, 1945 – 1995.
Jogyakarta: Kanisius, 1995.

Tim Peniliti PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Bandung: Mizan, 1999.

Yayasan Insan Politika, Tentara yang Gelisah, Bandung: Mizan, 1999.

Yulianto, Pratomo Dwi, Kekuasaan dan Militer, Jakarta: Narasi, 2005.

Yulianto, Arif, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Raja
Grafindo, 2002.

PARPOL IDEAL ADAKAH?

PARTAI POLITIK IDEAL SEPERTI APA?

Hasrat Politik Yang Tak Tersalurkan
Meminjam istilah yang digunakan oleh Soewarno dan Bambang Soeroso dalam seminar ”Peran dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia” di Gedung Seminar Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjdjaran, bahwa masyarakat Indonesia memiliki hasrat politik yang tinggi. Partisipasi tidak hanya berupa penggunaan suara dalam pesta demokrasi di berbagai tingkat tapi juga untuk menjadi pemain dalam permainan politik.
Kenyataan itu juga berlaku bagi para pemuda khususnya mahasiswa yang merasa gerah dengan keadaan Negara yang tidak sesuai dengan angan – angannya. Terlepas dari semua subjektifitas, mari kita sepakati bahwa partai politik adalah satu – satunya saluran politik yang berada di infra struktur politik. Ini berarti hanya melalui partai politik kegiatan politik dalam konteks kekuasaan dalam dilaksanakan. Maksudnya itikad sebaik apapun tak dapat diakomodir tanpa bendera partai yang menyertai perjuangan. Paling tidak itulah yang diatur oleh hukum positif kita.
Hasrat politik ini berakibat pada kemunculan banyak partai politik baru, baik itu sebagai partai yang betul-betul baru atau sebagai partai pecahan dari partai yang ada sebelumnya atau juga partai lama yang berubah nama. Kehadiran banyak partai ini tidak serta merta dianggap sebagai titik cerah yang signifikan bagi kebanyakan rakyat, apalagi rakyat Indonesia kebanyakan adalah pemilih tradisional.
Dan yang lebih memprihatinkan adalah bahwa partai politik yang bermunculan tersebut tidak dapat muncul dengan jubah ideologi yang dapat mencuri perhatian massa. Partai politik baru dan partai politik lama yang lemah cenderung dianggap seperti penghias pesta saja. Rakyat tidak melihat nilai jual yang baik dari tiap partai politik tersebut. Seperti yang dikatakan Prof. Utang Soewaryo dalam kuliahnya mengatakan bahwa “saat ini sudah tidak ada perang ideologi dalam pertarungan politik di Negara kita, yang ada hanya pertarungan untuk kekuasaan.” Hal ini menguatkan ketidaktertarikan rakyat terhadap partai politik sedangkan hasrat politik yang ada sangat tinggi.
Akhirnya partai politik menjadi hambatan atas partisipasi politik masyarakat akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik. Trauma masa lalu akibat kebohongan publik saat kampanye membuat partai politik tidak dijadikan pilihan untuk mewadahi hasrat politik tersebut. Maka rakyat berlomba mencari celah berpolitik menuju kekuasaan tanpa partai politik, di antaranya adalah calon perseorangan atau independen seperti yang marak menjadi isu politik saat ini.
Dan empiri membuktikan bahwa hasrat politik menuju kekuasaan masih bisa disalurkan tanpa partai politik, di antaranya adalah mekanisme pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu 2004. Lantas dalam tiap Pilkada senantiasa terhembus isu calon kepala daerah perseorangan. Hal ini membuktikan betapa hasrat politik rakyat Indonesia begitu tinggi.

Mencari Partai Politik Idaman
Seperti dikutip dari “Sistem Politik Indonesia ; Suatu Model Pengantar” karangan Dr. Rusadi Kantaprawira, menurut Gabriel A. Almond partai politik adalah organisasi manusia di mana di dalamnya terdapat pembagian tugas dan petugas untuk mencapai suatu tujuan, mempunyai ideologi (ideal objective), mempunyai program politik (political platform, material objective) sebagai rencana pelaksanaan atau cara pencapaian tujuan secara lebih pragmatis menurut panahapan jangka dekat sampai yang jangka panjang serta mempunyai ciri berupa keinginan untuk berkuasa. Dengan demikian, setiap organisasi manusia yang memenuhi kriteria di atas secara material dan substansial dapat dianggap sebagai partai politik.
(Kantaprawira, Rusadi. 2004. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algesindo)
Sedangkan menurut Edmund Burke dalam bukunya Toughts upon the Cause of the Present Discontents, partai politik adalah suatu kumpulan manusia untuk memajukan keinginan – keinginan bersamanya, yaitu kepentingan nasional melalui prinsip – prinsip khusus yang telah disepakati.
Menurut Maurice Duverger, partai politik adalah sekelompok manusia yang memiliki doktrin politik yang sama.
Jadi dapat disimpulkan partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir yang memiliki kesamaan ideologi (doktrin) dan berupaya untuk menduduki kekuasaan dengan serangkaian rencana langkah yang terukur dan terarah.
Melihat definisi ini tak ada yang salah dengan partai politik yang ada saat ini. Semua memang sudah dapat dikategorikan sebagai partai politik apalagi yang memang jelas secara juridis formal sudah melengkapi syarat – syarat seperti diatur peraturan perundang-undangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun nampaknya pencarian partai politik idaman ini akan dibenturkan pada sebuah kajian teoritis umum mengenai fungsi partai politik. Kualitas sebuah partai politik dapat dinilai dengan indikator fungsi partai politik secara teoritis.
Adapun fungsi partai politik yang ideal menurut Gabriel A. Almond dan Coleman adalah: Pertama. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti mendudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah, sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan keputusan politik ataupun output pada umumnya. Kedua. Berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu, terhadap kelakuan, tindakan, kebijaksanaan para pemegang otoritas (terutama dalam keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada dalam tangan partai politik yang bersangkutan). Ketiga. Berperan untuk dapat memadu tuntutan – tuntutan yang masih mentah, sehingga partai politik bertindak sebagai penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik yang dapat diterima dan diterima oleh masyarakat secara luas.
(Almond, Gabriel A. and James S. Coleman. 1960. The Politics of Developing Areas. New Jersey: Princeton University Press)
Sedangkan Drs. Sukarna menggabungkan fungsi partai politik dari berbagai pendapat ahli politik di antaranya Miriam Budiarjo, Maurice Duverger, Huszar dan Stevenson, menyatakan bahwa partai politik berfungsi :
1. Edukasi politik
2. Sosialisasi politik
3. Seleksi politik
4. Artikulasi kepentingan
5. Mengelola konflik
6. Komunikasi politik
7. Kontrol politik atau ktitik terhadap rejim
8. Merangsang opini publik
9. Mencalonkan kandidat
10. Memilih pejabat publik
11. Agregasi politik
(Sukarna. 1981. Demokrasi versus Kediktatoran. Bandung: Alumni.)

Mari kita bahas paling tidak lima fungsi pertama yaitu yang disebutkan oleh kebanyakan ahli sebagai fungsi partai politik. Dari pembahasan ini semoga kita dapat menemukan pegangan atas pencarian partai politik idaman yang kita lakukan.
Edukasi Politik. Untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. Sejatinya pendidikan politik dapat diterima di manapun. Baik itu di lembaga pendidikan formal maupun tempat yang bukan lembaga pendidikan. Dan partai politik adalah salah satu yang harus paling bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan rakyat akan pendidikan politik. Partai politik tak sedikit yang melakukan pendidikan politik dalam bentuk pelatihan kader atau kursus – kursus. Namun pendidikan itu terbatas pada rakyat yang sudah terdaftar sebagai kader. Jarang sekali ditemukan partai politik yang melakukan pendidikan politik yang terbuka untuk umum. Lantas bagaimana dengan rakyat yang belum yakin untuk bergabung dengan partai politik? Akhirnya partai politik menjadi organisasi yang eksklusif namun tidak selektif.
Sosialisasi Politik. Untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat dengan pemerintah. Menurut Rusadi, sosialisasi politik dapat disamakan dengan komunikasi politik yang tak lain adalah proses interaksi, stimuli-kontra-stimuli, penyampaian fakta, kepercayaan, kelakuan, reaksi emosional dalam bidang atau tentang objek politik.
Sedangkan di lapangan rasanya sulit sekali untuk dapat bertemu dengan wakil kita di dewan perwakilan. Feodalisme menjadi budaya yang akhirnya dilestarikan demi kenyamanan para elit. Selain itu juga, partai politik di level akar rumput nampak tak terbiasa menyampaikan pesan politik dari pemerintah kepada rakyat dan juga menerima aspirasi rakyat untuk pemerintah. Fungsi partai politik sebagai fasilitator antara rakyat dan penguasa tidak berjalan dengan baik karena selain memang tidak dibina, kegiatan kantor (atau sekretariat atau rumah) partai politik di level akar rumput hanya terlihat eksis bila mendekati hajatan demokrasi saja (Pemilu dan Pilkada). Akhirnya partai politik menjadi handphone tak berpulsa dan tak berbaterai. Mengenaskan..
Seleksi Politik. Untuk mendapatkan pemimpin terbaik yang dihasilkan dari rangkaian pendidikan politik yang sistematis dan selektif atas dasar kompetisi yang ketat. Partai politik berfungsi untuk mencetak kader – kader unggulan dan lantas menyeleksinya. Herman Finer mendeskripsikan sifat ideal pemimpin (baik itu yang terlahir alamiah maupun yang dibina secara buatan) adalah memiliki kesadaran, kebulatan pandangan, ketetapan jiwa, keyakinan, kreatif, manusiawi, berani, kemampuan yang memukau, dan kepandaian. Namun pada kenyataannya partai politik sebagai political vehicle ternyata lebih senang direntalkan kepada orang yang mempunyai kemampuan membayar dana sewa. Tak peduli orang seperti apa yang mau menyewa yang penting dia punya kapabilitas finansial untuk membayar ongkos sewa maka dia akan diantarkan menuju kursi yang diharapkan. Jadi, orang miskin jangan berpolitik…!!!
Artikulasi Politik. Untuk menampung kepentingan konstituen kemudian memformulasinya menjadi sebuah kepentingan kolektif. Artikulasi ini melalui proses sintesis aspirasi banyak orang. Namun karena sudah saya paparkan di atas bahwa partai politik menjadi organisasi yang eksklusif maka sulit bagi publik menyertakan pandangannya dalam penampungan tersebut. Karena fungsi sosialisasi yang tidak berjalan baik maka hanya elit partai atau yang memiliki akses langsung akibat hubungan emosional ke elit saja yang dapat memasukkan aspirasinya untuk ditampung dalam rangka artikulasi kepentingan tersebut. Akar rumput jelas tak memiliki kemampuan untuk menjangkau ini karena perangkat partai politik di tingkat ini tidak berjalan dengan optimal. Maka partai hanya menjadi milik elit belaka.
Manajemen Konflik. Ketidaksamaan pandangan yang berujung ada kepentingan yang beragam merupakan salah satu dari banyak penyebab konflik. Untuk itu, partai politik berfungsi untuk dapat mengelola konflik agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Untuk hal ini, jangan dulu berbicara pada tataran eksternal partai, konflik internal partaipun seringkali tak dapat diselesaikan oleh partai politik tersebut yang berakibat separasi partai politik. Muncullah partai – partai baru sebagai pecahan dari partai lama. Logika sederhanya adalah bagaimana mungkin sebuah partai dapat mengelola konflik di tingkat masyarakat dan Negara bila konflik internal saja tidak dapat dikelola dengan baik?
Dari berbagai paparan teoritis yang disandingkan dengan empiris tersebut nampaknya memang tak dapat disalahkan apabila rakyat kehilangan kepercayaan terhadap partai politik karena memang partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya secara holistik dan kompresehensif. Idiom bahwa partai politik adalah kendaraan menuju kekuasaan telah mendistorsi fungsi partai politik itu sendiri.
Bahkan TEMPO Edisi 1 – 7 Oktober 2007 menulis, “Intinya PKI memperjuangkan kepentingan kadernya, dan para anggota bekerja untuk partai karena kesamaan cita – cita. Empat puluh dua tahun setelah 1965 dan sembilan tahun setelah “revolusi” 1998, sebuah partai yang hidup mengurus anggotanya sepanjang tahun itulah yang tak kita temukan pada kebanyakan partai zaman sekarang.” Lantas, apakah Partai Komunis Indonesia merupakan jawaban atas pencarian partai politik idaman kita?! Hak politik kita jawabannya.

FAJAR ARIF BUDIMAN
Jatinangor, 16 Februari 2008

PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN dan PEMILU 2009

PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN dan PEMILU 2009

Oleh:
Drs. H.A. Chozin Chumaidy

PENDAHULUAN

Pemilu dalam konteks kehidupan kenegaraan, merupakan upaya konsolidasi demokrasi secara menyeluruh dalam bentuk keikutsertaan masyarakat dalam membangun kedaulatan negara yang bermartabat dan demokratis. Disamping itu Pemilu diadakan untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pejabat publik yang akan menjalankan fungsi penyelenggaraan pemerintahan.

Pemilu dengan demikian merupakan institusi dan sekaligus instrumen untuk mengendalikan konflik kepentingan yang terjadi dalam masyarakat, melalui Pemilu dapat pula berfungsi sebagai sarana untuk melakukan pergantian pemerintahan secara wajar dan damai. Dalam pengertian yang lebih luas Pemilu berfungsi sebagai sarana untuk membangun basis legitimasi politik yang konstitusional bagi kekuasaan yang akan dibangun.

Pemilu sebagai upaya meningkatkan kualitas partai politik dalam menjalankan fungsi hak dan tanggungjawabnya, dapat digunakan sebagai sarana pendidikan politik rakyat melalui kampanye. Masyarakat berpeluang memperoleh informasi tentang berbagai kebijakan dan permasalahan yang dihadapi bangsa dan negara.

Sebagai partai politik, PPP berkewajiban untuk ikut menyukseskan Pemilu sehingga dapat menjamin pelaksanaan kedaulatan serta peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. PPP juga bertanggungjawab atas terselenggaranya Pemilu yang benar, jujur dan adil yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Selain itu, untuk meningkatkan peran politik dan kenegaraannya, PPP harus memperoleh hasil yang maksimal dalam Pemilu.

Pemilu 2009 bagi PPP merupakan pemilu ke-8 (delapan) yang diikuti sejak PPP lahir dipentas politik nasional. Berdasarkan pengalaman tersebut, PPP mahfum bahwa pemilu merupakan keniscayaan politik dalam rangka menciptakan suatu pemerintahan yang demokratis. Namun demikian, pemilu dimaksud bukan merupakan sekadar ritual politik yang diselenggarakan 5 (lima) tahun sekali saja tapi pemilu yang diciptakan dan diselenggarakan secara sadar dan terorganisir serta dilandasi oleh etika politik yang beradab.

PPP DALAM PENTAS POLITIK NASIONAL
Partai Persatuan Pembagunan (PPP) didirikan tanggal 5 Januari 1973, sebagai hasil fusi politik empat partai Islam; Partai Nadhlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Perti. Deklarasi pembentukan PPP dilakukan oleh lima deklarator yang merupakan pimpinan empat Partai Islam peserta Pemilu 1971 dan oleh ketua kelompok persatuan pembangunan (fraksi empat partai Islam di DPR), yaitu:
1. KH Idham Chalid, Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama;
2. H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia (Parmusi);
3. Haji Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum PSII;
4. Haji Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti; dan
5. Haji Mayskur, Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR.

PPP berasaskan Islam dan berlambangkan Ka’bah. Akan tetapi dalam perjalanannya, akibat tekanan politik kekuasaan Orde Baru, PPP pernah menanggalkan asas Islam dan menggunakan asas Negara Pancasila sesuai dengan sistem politik dan peratururan perundangan yang berlaku sejak tahun 1984. Pada Muktamar I PPP tahun 1984 PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dan lambang partai berupa bintang dalam segi lima. Setelah tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dan dia digantikan oleh Wakil Presiden B.J.Habibie, PPP kembali menggunakan asas Islam dan lambang Ka’bah. Secara resmi hal itu dilakukan melalui Muktamar IV akhir tahun 1998.

Konfigurasi Politik PPP

Kepemimpinanan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP dipimpin oleh seorang ketua umum dengan Ketua Umum DPP PPP yang pertama adalah H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, sejak tanggal 5 Januari 1973 sampai mengundurkan diri tahun 1978. Selain jabatan Ketua Umum pada awal berdirinya PPP juga mengenal presidium partai yang terdiri dari KH.Idham Chalid sebagai Presiden Partai, H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Drs.H.Th.M.Gobel, Haji Rusli Halil dan Haji Masykur, masing-masing sebagai Wakil Presiden.

Ketua Umum DPP PPP yang kedua adalah H. Jailani Naro, SH. Dia menjabat dua periode. Pertama tahun 1978 ketika H.Mohammad Syafaat Mintaredja mengundurkan diri sampai diselenggarakannya Muktamar I PPP tahun 1984. Dalam Muktamar I itu Naro terpilih lagi menjadi Ketua Umum DPP PPP.

Ketua Umum DPP PPP yang ketiga adalah H. Ismail Hasan Metareum, SH, yang menjabat sejak terpilih dalam Muktamar II PPP tahun 1989 dan kemudian terpilih kembali dalam Muktamar III tahun 1994. Ketua Umum DPP PPP yang keempat adalah H. Hamzah Haz yang terpilih dalam Muktamar IV tahun 1998 dan kemudian terpilih kembali dalam Muktamar V tahun 2003. Hasil Muktamar V tahun 2003 juga menetapkan jabatan Wakil Ketua Umum Pimpinan Harian Pusat DPP PPP, yang dipercayakan muktamar kepada mantan Sekjen DPP PPP, H. Alimawarwan Hanan,SH. Pada periode kepemimpinan Hamzah Haz yang kedua ini, PPP berhasil menempatkan kader terbaiknya menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia, dan ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah politik PPP yang selama ini selalu tertindas.

Untuk Muktamar VI tahun 2007, terpilih sebagai Ketua Umum DPP PPP yang kelima adalah H. Suryadharma Ali dengan Sekretaris Jenderal H. Irgan Chairul Mahfiz sedangkan Wakil Ketua Umum dipercayakan oleh muktamar kepada Drs. HA. Chozin Chumaidy. Kepemimpinan Suryadharma Ali – Irgan Chairul Mahfiz menjadi tonggak baru dalam regenerasi kepemimpinan PPP, dimana kelompok muda PPP mendominasi kepengurusan ditingkat pusat.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, PPP sebagai partai politik yang berasaskan Islam memliki visi: “Terwujudnya masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan negara Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, bermoral, demokratis, tegaknya supremasi hukum, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), serta menjunjung tinggi harkat-martabat kemanusiaan dan keadilan sosial yang berlandaskan kepada nilai-nilai keislaman”. Visi tersebut diturunkan dalam Khidmat Perjuangan (misi), yaitu: Pertama, PPP berkhidmat untuk berjuang dalam mewujudkan dan membina manusia dan masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, meningkatkan mutu kehidupan beragama, mengembangkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim). Dengan demikian PPP mencegah berkembangnya faham-faham atheisme, komunisme/marxisme/leninisme, serta sekularisme, dan pendangkalan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Kedua, PPP berkhidmat untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sesuai harkat dan martabatnya dengan memperhatikan nilai-nilai agama terutama nilai-nilai ajaran Islam, dengan mengembangkan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Dengan demikian PPP mencegah dan menentang berkembangnya neo-feodalisme, faham-faham yang melecehkan martabat manusia, proses dehumanisasi, diskriminasi, dan budaya kekerasan. Ketiga, PPP berkhidmat untuk berjuang memelihara rasa aman, mempertahankan dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dengan mengembangkan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Dengan demikian PPP mencegah dan menentang proses disintegrasi, perpecahan dan konflik sosial yang membahayakan keutuhan bangsa Indonesia yang ber-bhineka tunggal ika.

Keempat, PPP berkhidmat untuk berjuang melaksanakan dan mengembangkan kehidupan politik yang mencerminkan demokrasi dan kedaulatan rakyat yang sejati dengan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan demikian PPP mencegah dan menentang setiap bentuk otoritarianisme, fasisme, kediktatoran, hegemoni, serta kesewenangwenangan yang mendzalimi rakyat. Dan kelima, PPP berkhidmat untuk memperjuangkan berbagai upaya dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridlai oleh Allah SWT, baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Dengan demikian PPP mencegah berbagai bentuk kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya, pola kehidupan yang konsumeristis, materialistis, permisif, dan hedonistis di tengah-tengah kehidupan rakyat banyak yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Dalam mewujudkan visi dan mengimplementasikan Khidmat Perjuangan, segenap pengurus, anggota, dan kader PPP berpegang teguh pada 6 (enam) Prinsip Perjuangan PPP, yaitu:
1. Prinsip Ibadah, PPP senantiasa berupaya mendasari perjuangannya dengan prinsip ibadah, dalam arti yang seluasluasnya yaitu untuk mencapai keridhaan Allah SWT. Oleh karena itu, seluruh kegiatan berpolitik jajaran partai adalah merupakan keterpanggilan untuk beribadah.
2. Prinsip Amar Ma`ruf Nahi Munkar, PPP mendasarkan perjuangannya atas prinsip menyeru dan mendorong melaksanakan segala perbuatan yang baik serta mencegah segala perbuatan yang tercela (munkar). Prinsip ini juga melandasi segala landasan perjuangan dalam melaksanakan fungsi untuk menyerap, menampung, menyalurkan, memperjuangkan dan membela aspirasi rakyat dan melaksanakan pengawasan atau kontrol sosial. Dengan prinsip ini partai berusaha untuk mendorong budaya kritis dalam kehidupan masyarakat keseluruhan sehingga tidak terjadi political decay (pembusukan politik) yang mengakibatkan kemungkaran yang lebih jauh oleh sikap tatanan masyarakat secara keseluruhan. Prinsip ini juga menumbuhkan keberanian dalam menegakkan kebenaran.
3. Prinsip Kebenaran, Kejujuran dan Keadilan: Perjuangan PPP selalu didasarkan pada penegakan dan pembelaan prinsip kebenaran dalam kehidupan bermasyarakat. Perjuangan partai mengarah pada perlawanan terhadap kebatilan karena kebenaran berhadapan secara diametral dengan kebatilan. Meskipun begitu kebenaran yang mutlak hanya Allah SWT yang Maha Benar. Karena itu sepanjang kebenaran itu masih bersifat manusiawi kebenaran itu bukanlah monopoli siapapun. Sementara itu, Prinsip kejujuran atau amanah bersifat sentral dan esensial dalam perjuangan PPP. Dengan prinsip kejujuran ini perjuangan dalam bentuk apapun akan menjamin tegaknya saling pengertian, keharmonisan, keserasian dan ketenteraman. Prinsip kejujuran merupakan penunaian amanah dan kepercayaan rakyat yang perlu terus dijaga sehingga terhindar dari perbuatan yang menghianati amanah rakyat. PPP juga akan terus mempertahankan prinsip keadilan di dalam setiap gerak langkah perjuangannya. Tegaknya keadilan (justice) adalah essensial dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan prinsip keadilan maka segala aturan dapat terlaksana dan berjalan baik sehingga menimbulkan keharmonisan, keselarasan, keseimbanan, ketenteraman dan sekaligus akan menghilangkan kedzaliman, kesenjangan, keresahan, dan konflik.
4. Prinsip Musyawarah, PPP berpendirian bahwa musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan dasar dalam proses pengambilan keputusan. Dengan musyawarah dapat dipelihara sikap saling pengertian, saling menghargai dan menjamin kemantapan hasilnya serta menumbuhkan tanggung jawab bersama sehingga demokrasi yang sejati dapat terwujud dengan baik dan nyata. Disamping itu keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Allah SWT. Apabila dengan musyawarah tidak dicapai mufakat maka tidak tertutup kemungkinan pengambilan keputusan ditempuh dengan suara terbanyak dengan mencegah munculnya diktator mayoritas.
5. Prinsip Persamaan, Kebersamaan dan Persatuan: PPP mendasarkan perjuangan atas dasar prinsip persamaan derajat manusia di hadapan Allah SWT. Ini adalah keyakinan yang mendasar, yang dapat memberikan motivasi perjuangan kepada seluruh jajaran partai sehingga terhindar dari bahaya kultus individu dan neo-feodalisme yang dapat memerosotkan kualitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. PPP berjuang untuk mengembangkan nilai-nilai kebersamaan dalam memikul beban dan tanggung jawab kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan secara proporsional sehingga terhindar dari dominasi, perasaan ditinggalkan, dan dikucilkan. Disamping itu, perjuangan PPP juga didasarkan atas prinsip menegakkan dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga terhindar dari bahaya disintegrasi dan perpecahan.
6. Prinsip Istiqomah, PPP menjadikan prinsip istiqomah atau konsisten sebagai prinsip perjuangan. Artinya, PPP sebagai institusi dan kader-kadernya harus gigih, kokoh, terguh pendirian dan selalu konsisten dalam memperjuangkan aspirasi rakyat berdasarkan nilai-nilai kebenaran. Atas dasar istiqomah sebagai nilai-nilai dasar perjuangan partai, maka keberhasilan akan dapat ditegakkan dan kemantapan dalam perjuangan partai dalam konteks perjuangan bangsa untuk mencapai cita-cita nasional.

Visi, khidmat perjuangan (misi), dan prinsip perjuangan merupakan pedoman dan pegangan bagi segenap pengurus PPP semua jenjang, anggota, kader, dan organisasi sayap dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

PPP DAN PEMILU
PPP resmi menjadi partai peserta pemilu pada Pemilu 1977, dimana pada pengalaman pemilu pertama ini PPP meraih 18.745.565 suara atau 29,29 persen). Sedangkan dari sisi perolehan kursi, PPP mendapatkan 99 kursi atau 27,12 persen dari 360 kursi yang diperebutkan. PPP meraih kursi di 22 provinsi atau 84,62 persen dari 26 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya.

Pemilu 1982 PPP meraih 20.871.800 suara atau 27,78 persen. Dari perolehan kursi, PPP mendapatkan 94 kursi atau 26,11 persen dari 364 kursi yang diperebutkan. Pada Pemilu 1982 ini, PPP meraih kursi di 22 provinsi atau 81,84 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur. Pada Pemilu 1977 dan Pemilu 1982, PPP menggunakan lambang dan tanda gambar Ka’bah dan asas Islam.

Pada Pemilu 1987 PPP meraih 13.701.428 suara arau 15,97 persen. Sedangkan dari perolehan kursi, PPP meraih 61 kursi atau 15,25 persen dari 400 kursi yang diperebutkan. PPP meraih kursi di 22 provinsi atau 81,84 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur. Penurunan perolehan suara dan kursi yang sangat signifikan ini terutama disebabkan karena pada Pemilu ini asas dan lambang PPP berubah menjadi asas Pancasila dengan lambang bintang dalam kotak segi lima.

Perolehan Suara PPP dari Pemilu ke Pemilu

Pemilu Suara Prosentase
1977 18,743 juta 29,29%
1982 20,871 juta 27,78%
1987 13,701 juta 15,97%
1992 16,624 juta 17,01%
1997 25,340 juta 22%
1999 13,329 juta 10,71%
2004 9,248 juta 8,15%

Pemilu 1992 PPP meraih 16.624.647 suara atau 14,59 persen atau 62 kursi atau 15,50 persen dari 400 kursi yang diperebutkan. Pada Pemilu 1992 ini, PPP meraih kursi pada 18 provinsi atau 66,66 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur.

Pemilu 1997 PPP meraih 25.340.018 suara. Sedangkan dari sisi perolehan kursi, PPP meraih 89 kursi atau 20,94 persen dari 425 kursi yang diperebutkan. PPP meraih kursi pada 18 provinsi atau 66,66 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur. Kenaikan signifikan perolehan suara dan kursi pada Pemilu 1997 ini terutama karena berkembang fenomena “Mega Bintang”, dimana para pengikut Megawati mengalihkan suaranya ke PPP dari PDI.

Perolehan Kursi PPP dari Pemilu ke Pemilu

Selama pemilu yang diselenggarakan pemerintahan otoriter Orde Baru (Pemilu 1977 sampai dengan Pemilu 1997), PPP selalu berada dalam keadaan tertindas, kader-kader PPP dengan segala alat kekuasaan Orde Baru dipaksa meninggalkan partai, kalau tidak akan dianiaya. Selama masa Orde Baru banyak kader-kader PPP terutama di daerah yang ditembak, dipukul, dan malah ada yang dibunuh. Saksi-saksi PPP diancam, suara yang diberikan rakyat ke PPP dimanipulasi untuk kemenangan Golkar, mesin politik Orde Baru.

Pemilu 1999 dengan sistem multi partai dan menggunakan sistem Pemilu proporsional semi distrik, PPP meraih 11.329.905 suara atau 10,71 persen dengan perolehan kursi 58 kursi atau 12,55 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Pada Pemilu ini, PPP meraih kursi pada 24 provinsi atau 88,88 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Bali, Irian Jaya, dan Timor Timur.

Pada Pemilu 2004 PPP meraih 9.248.764 suara atau 8,14 persen. Dari sisi perolehan kursi, PPP tetap meraih 58 kursi atau 10,54 persen dari 550 kursi yang diperebutkan. Di Provinsi dan di Kabupaten/Kota PPP memperoleh 180 kursi DPRD Provinsi, dan 1.353 DPRD Kabupaten/Kota. PPP meraih kursi pada 23 provinsi atau 69.69 persen dari 33 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Babel, Kepri, DIY, Bali, NTT, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Irian Jaya Barat, dan Papua.

Kedua peristiwa Pemilu 1999 dan 2004 tersebut, PPP kembali menggunakan lambang dan tanda gambar Ka’bah dan berasas Islam. Hal inilah menjadi daya tahan PPP dalam memperebutkan pemilih Islam, karena posisinya masih dalam kelompok 5 (lima) besar partai politik yang mendapatkan kursi di DPR RI dan untuk partai Islam PPP masih menduduki peringkat pertama.

PEMILU BAGI PPP

Dalam pandangan PPP, pemilu merupakan implementasi dari visi dan khidmat perjuangan PPP sebagai partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilu bagi PPP merupakan wahana dalam memperjuangkan dan mengembangkan kehidupan politik yang mencerminkan demokrasi dan kedaulatan rakyat yang sejati dengan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. PPP meyakini bahwa dengan pemilu akan mencegah pemerintahan negara yang otoritarian, fasis, diktator, hegemonik, serta sewenang-wenang yang mendzalimi rakyat.

PPP juga memaknai pemilu sebagai serangkaian ikhtiar bersama dari segenap warga bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridlai oleh Allah SWT, baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Pemilu dalam hal ini merupakan salah satu pijakan (stepping stone) dalam upaya mewujudkan cita-cita tersebut.

Selain itu, pemilu bagi PPP merupakan ajang untuk memantapkan posisi PPP sebagai partai politik yang demokratis, sehat, solid, dan mandiri untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam kehidupan politik nasional. Pemilu menjadi sarana bagi PPP untuk merebut kekuasaan pemerintah negara secara konstitusional dalam rangka regenerasi kepemimpinan bangsa

Pemilu juga dimaknai untuk meningkatkan peranan PPP dan citra sebagai partai Islam dalam mengemban amanat rakyat, dalam menampung, menyalurkan dan memperjuangkan serta membela kepentingan rakyat secara demokratis dan konstitusional. Peningkatan dukungan politik terhadap PPP tercermin dalam peningkatan jumlah perolehan suara dan kursi di lembaga legislatif DPR dan DPRD, serta keikutsertaan dalam pemerintahan yang akan datang.

Yang tidak kalah pentingnya pemilu bagi PPP juga merupakan wahana untuk melaksanakan konsolidasi organisasi secara lebih mantap. Dengan pemilu, barisan dan shaf organisasi yang selama ini masih ’berlubang’, tidak tertib, dan kendur menjadi semakin rapat, tertib, dan akseleratif. Dengan demikian Pemilu akan menjadikan PPP sebagai organisasi yang semakin terkonsolidasi dan dinamis.

STRATEGI PPP DALAM PEMILU 2009
Pemilu 2009 merupakan pemilu ke-8 (delapan) yang diikuti oleh PPP. Menyongsong keikutsertaannya dalam pemilu yang ke-8 ini, PPP memiliki visi dalam menghadapi Pemilu 2009: “memantapkan posisi PPP sebagai partai Islam yang demokratis, sehat, solid, dan mandiri yang memilki kekuatan dan basis konstituen yang mapan dan mengakar sehingga mampu berperan dalam dinamika kehidupan politik nasional dan memberikan makna serta bermanfaat bagi kemaslahatan umat Islam, bangsa dan negara”.

Implementasi dari visi dimaksud, hal-hal yang ingin dicapai PPP dalam Pemilu 2009 adalah: pertama, PPP akan berusaha mempertahakan basis konsituen yang sudah ada; kedua, PPP akan berupaya semaksimal mungkin memperluas dukungan politik masyarakat terhadap PPP, selain konstituen yang sudah ada; ketiga, PPP akan berupaya merebut simpati masyarakat agar menjatuhkan pilihan politiknya kepada PPP; dan keempat, PPP berupaya untuk memantapkan dukungan basis konstituen dan dukungan masyarakat untuk meningkatkan perolehan suara PPP.

Dalam Pemilu 2009 yang akan datang, PPP menetapkan target perolehan suara nasional 15%. Untuk mencapai target perolehan suara 15% pada Pemilu 2009, serta dengan mengacu pada amanat Muktamar VI PPP dan Mukernas I PPP 2007 maka dirumuskan strategi pemenangan Pemilu PPP. Strategi Pemenangan Pemilu PPP merupakan strategi dasar yang harus diterapkan oleh seluruh jenjang kepengurusan PPP, dari DPP hingga Ranting.

Strategi dasar ini merupakan strategi minimal yang harus diimplementasikan oleh jenjang kepengurusan PPP disemua tingkatan. Selain strategi dasar, kepengurusan PPP harus menyusun dan mengimplementasikan strategi khusus sesuai karakteristik dan kekhususan daerah dan konstituen. Adapun strategi Pemenangan Pemilu 2009 PPP terdiri dari:

a. Konsolidasi dan Dinamisasi Organisasi
Hal yang mendasar yang menjadi penopang utama pemenangan Pemilu PPP pada Pemilu 2009 adalah kesiapan struktur dan kelembagaan PPP. Kesiapan struktur dan kelembagaan PPP mensyaratkan terbinanya konsolidasi internal yang mantap dan dinamika organisasi yang sehat. Tiap jenjang kepengurusan PPP merupakan mesin penggerak utama partai dalam pembinaan dan penggalangan kosntituen di wilayah/daerah masing-masing. Begitu juga dengan oeganisasi sayap PPP (Wanita Persatuan Pembangunan, Angkatan Muda Kabah, Gerakan Pemuda Kabah, Generasi Muda Pembangunan Indonesia, Pergerakan Mahasiswa Pembangunan Indonesia, dan Taruna Pembangunan Indonesia) menjadi penggerak utama dalam penggalangan konstituen baru.

b. Mempertahankan Konstituen Lama
Merujuk pada hasil Pemilu 2004, konstituen lama PPP berjumlah 9.248.764 orang, yang sebagian besar diantaranya adalah pemilih tradisional (ideologis). Bila ditarik kebelakang, jumlah konstituen lama PPP senantiasa mengalami pengurangan signifikan dari pemilu ke pemilu. Dari Pemilu 1999 ke Pemilu 2004 saja terjadi pengurangan konstituen lama PPP sebanyak 2,1 juta pemilih. Hal ini terjadi, selain karena pengurangan secara alamiah, juga karena maintainance (pemeliharaan) terhadap konstituen lama PPP kurang maksimal. Faktor kurang maksimalnya maintainance konstituen lama ini yang menjadi penyebab utama berkurangnya perolehan suara PPP pada Pemilu 2004. Terkait dengan itu, dalam menghadapi Pemilu 2009 yang akan datang, basis konstituen Pemilu 2004 menjadi basis dasar yang harus dipertahankan. Upaya mempertahankan basis konstituen lama ini ditujukan untuk meningkatkan loyalitas dan fanatisme konstituen lama PPP sehingga pada Pemilu 2009 akan tetap menyalurkan aspirasi politiknya dan memilih kembali PPP.

Dalam rangka me-maintainance konstituen lama (tradisional) yang menjadi basis konstituen PPP, beberapa langkah yang akan dilakukan adalah:
• Meningkatkan loyalitas konstituen tradisional dengan memberikan perhatian lebih, meningkatkan penyerapan aspirasi dan keluhan, dan meningkatkan intensitas silaturahmi tatap muka, terutama dengan simpul-simpul konstituen tradisional.
• Meningkatkan fanatisme konstituen tradisional dengan melakukan internalisasi nilai-nilai keislaman dalam perjuangan politik dan menekankan bahwa PPP tetap konsisten memperjuangkan aspirasi umat Islam Indonesia.
• Melakukan pemberdayaan politik terhadap konstituen tradisional sehingga konstituen dapat menerima dan memahami perubahan-perubahan organisasi dan strategi perjuangan politik PPP.

c. Penggalangan Konstituen Baru
Data taksiran pemilih pemula pada Pemilu 2009 diperkirakan mencapai lebih dari 19.638.184 pemilih, sebuah jumlah yang cukup signifikan untuk mendongkrak perolehan suara PPP. Jumlah pemilih pemula tersebut merupakan pangsa baru yang terbuka untuk digalang. Dan jumlah ini akan semakin besar bila ditambahkan suara migrasi dari kelompok swing voters dan simpatisan partai lain yang partainya tidak lolos electoral threshold. Terkait dengan itu, selain me-maintainance konstituen lama, PPP juga harus melebarkan segmen konstituennya dengan menggalang para pemilih pemula, swing voters, dan simpatisan dari partai yang tidak lolos electoral threshold.

Penggalangan terhadap potensi konstituen baru dilakukan dengan mengerahkan segenap sumber daya PPP secara terorganisir. Penggalangan konstituen baru dapat dilakukan dengan melalui penggalangan berdasarkan kewilayahan dan penggalangan berdasarkan fungsi/profesi. Dalam penggalangan berdasarkan kewilayahan, setiap kader dan pengurus partai merupakan motor penggalangan konstituen baru di wilayah dimana mereka berdomisili. Dengan demikian sasaran dari penggalangan berdasarkan wilayah adalah potensi konstituen baru yang tinggal disekitar kediaman kader.

Sementara itu, penggalangan berdasarkan fungsi atau profesi adalah penggalangan yang dilakukan oleh kader dan pengurus PPP terhadap potensi konstituen baru yang memiliki kesamaan profesi atau satu lingkungan kerja dengan kader dan/atau pengurus PPP. Selain juga penggalangan fungsional dilakukan untuk menggalang kelompok profesi tertentu untuk menjadi konstituen baru PPP, seperti: kelompok pemuda, pengusaha, cendikiawan, buruh, tukang ojek, seniman, dan kelompok profesi lainnya.

Untuk menggalang konstituen baru yang relatif rasional, PPP akan melakukan serangkaian upaya, yaitu:
• Melaksanakan revitalisasi organisasi, pengurus, dan kader.
• Melakukan adaptasi terhadap konstituen baru melalui program dan isu yang sesuai dengan aspirasi calon konstituen baru.
• Melakukan inovasi dalam menjawab permasalahan dan perkembangan dalam masyarakat.
• Merumuskan strategi banyak pintu untuk menempatkan kader baru selain dibidang politik, dengan mendorong kader-kader baru untuk menempati posisi dibidang ekonomi, profesional, dan pemerintahan.

d. Peningkatan Intensitas dan Kualitas Komunikasi Politik
Kampanye pemilihan umum merupakan sarana pendidikan politik rakyat untuk mengetahui berbagai informasi tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilakukan oleh partai politik, dan calon Anggota DPR, DPRD, sebagai peserta Pemilu yang terencana dan terorganisir. Kampanye Pemilu juga merupakan kegiatan mempengaruhi masyarakat pemilih berdasarkan nilai dan perjuangan Partai, agar terjadi hubungan timbal balik untuk mendapatkan suara dari masyarakat dan pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada hari “H” pemungutan suara kepada PPP.

Kampanye merupakan salah satu bentuk komunikasi politik harus dilakukan kapan pun dan dimana pun. Setiap kader dan pengurus PPP adalah juru kampanye handal dan utama. Paradigma kampanye yang menempatkan proses kampanye hanya dilakukan pada saat menjelang Pemilu harus diubah dengan paradigma tiada hari tanpa kampanye. Hal ini terutama karena dilandasi oleh pemikiran bahwa kampanye bukan saja kampanye pemilu tetapi juga kampanye politik. Dalam konteks kampanye politik ini lah kampanye tidak dapat dilimitasi oleh waktu karena sejatinya setiap gerak kader, pengurus, dan kepengurusan PPP merupakan kampanye.

e. Pembentukan Kader Penggerak Partai
Untuk menggerakan penggalangan secara dini serta penyiapan kebutuhan akan saksi TPS, maka disetiap ranting PPP dibentuk Kader Penggerak Partai. Selain juga kader penggerak partai merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari upaya konsolidasi keanggotaan PPP. Kader Penggerak Partai bukan merupakan bagian organisatoris dari kepengurusan ranting tetapi merupakan paguyuban kader PPP ditingkat grass root yang dikordinir oleh ranting dan difasilitasi oleh jenjang kepengurusan diatasnya. Dengan demikian Kader Penggerak Partai bukan pengurus partai dari semua tingkatan kepengurusan tetapi kumpulan kader.

Dalam penggalangan, Kader Penggerak Partai, selain secara otomatis menggalang dirinya, menjadi ujung tombak penggalangan pemilih berdasarkan kewilayahanan. Keberadaan Kader Penggerak Partai juga dapat digunakan sebagai instrumen pendukung kegiatan-kegiatan penggalangan formal yang dilakukan oleh ranting, anak cabang, dan cabang.

Sementara untuk saksi, dengan mengacu pada Pemilu 2004 yang lalu, kebutuhan saksi TPS mencapai 600 ribu saksi (dengan asumsi satu TPS satu saksi). Kesulitan yang dihadapi oleh PPP adalah minimnya jumlah saksi dan rendahnya kualitas saksi. Bahkan ada kecenderungan saksi PPP di TPS tidak memiliki keterkaitan emosional dengan PPP karena memanfaatkan warga masyarakat disekitar TPS. Hal ini menyebabkan kualitas persaksian TPS tidak maksimal yang potensial menyebabkan tidak amannya suara PPP. Karenanya saksi PPP harus memiliki keterkaitan emosional dengan PPP dan memiliki kompetensi saksi (mengetahui hal ikhwal terkait saksi TPS) serta harus sedini mungkin disiapkan. Dengan dibentuknya Kader Penggerak Partai, kebutuhan akan saksi yang memiliki keterkaitan emosional dan kompetensi yang memadai akan dapat dipenuhi.

Kader Penggerak Partai juga dapat difungsikan untuk mendukung pelaksanaan konsolidasi keanggotaan PPP. Dalam kaitan ini, Kader Penggerak Partai berfungsi sebagai tenaga yang merekrut dan mendaftar serta mendistribusikan kartu anggota PPP. Dengan demikian akselerasi konsolidasi keanggotaan PPP akan semakin cepat dan mantap.

Selain ketiga hal diatas, Kader Penggerak Partai juga dapat dimanfaatkan dalam setiap kegiatan PPP dan setiap tahapan pemenangan Pemilu PPP. Kader Penggerak Partai merupakan tenaga cadangan umum yang siap dimobilisasi untuk mendorong dinamisasi PPP dan memenangkan PPP dalam Pemilu 2009.

Strategi diatas, seperti telah disebutkan diatas, merupakan strategi dasar PPP dalam menghadapi Pemilu 2009 yang harus disesuaikan dan dikembangkan sesuai dengan karakteristik masyarakat dimana PPP ada.

PENUTUP
Rangkaian uraian diatas merupakan ikhtiar dari PPP untuk menggenapi peran dan fungsinya sebagai partai politik serta dalam rangka ikut serta secara aktif mewujudkan tujuan bersama bangsa Indonesia: menuju Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

*Wakil ketua Umum PPP